Kamis, 04 Januari 2018

makalah Asbab al-Nuzul

Pendahuluan
Alquran dalam proses penurunannya tidak turun sekaligus dalam satu waktu, namun turun secara berangsur-angsur dalam kurun waktu kurang lebih 23 tahun. Ada yang turun untuk memberikan hidayah, pendidikan, dan pencerahan, tanpa didahului atau terikat dengan sebab tertentu dan ada juga turun terkait dengan persoalan dan peristiwa yang terjadi saat waktu diturunkan.
Asbabun nuzul menempati posisi yang penting dalam menafsirkan   Alquran dan untuk bisa memahaminya pun tidak terlepas dari kondisi sosio-historis dimana Alquran itu diturunkan. Sabab nuzul mendeskripsikan bahwa ayat-ayat Alquran memiliki hubungan dialektik dengan fenomena sosiokultur masyarakatnya. Mengetahui penyebab penurunan wahyu dapat membantu mufassir dalam mengungkap makna yang sebenarnya, hikmah dibalik penetapan suatu hukum, serta mempermudah memahami pesan Alquran secara komprehensif dan proporsional.[1]
Pembahasan
1.        Pengertian Asbab al-Nuzul
Al-Quran berfungsi sebagai petunjuk dalam menghadapi berbagai situasi. Ayat-ayat tersebut diturunkan dalam kedaan dan waktu yang berbeda-beda. Kata asbab (tunggal: sababa) secara etimologi berarti alasan atau sebab terjadinya sesuatu yang lain. Dan kata al-Nuzul berarti jatuh dari tempat yang tinggi. Kemudian dua kata tersebut digabung menjadi satu menjadi Asbab dan Nuzul[2]. Adapun Asbab al-Nuzul berarti pengetahuan tentang sebab-sebab diturunkannya suatu ayat.
Menurut al-Zarqani, asbab al-nuzul adalah “suatu kejadian yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat, atau suatu peristiwa yang dapat dijadikan petunjuk hukum berkenaan dengan turunnya suatu ayat.”
Pendapat yang hampir sama dikemukakan Shubhi al-Shalih: “Sesuatu yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat yang memberi jawaban terhadap sebab itu, atau menerangakn hukumnya pada masa terjadinya sebab itu.”[3]
Quraish Shibab memaknai asbab al-nuzul ­sebagai peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa turunnya ayat, baik sebelum maupun sesudahnya turunnya, dimana kandungan ayat tersebut berkaitan/dapat dikaitkan dengan peristiwa itu. Peristiwa yang dimaksud bisa jadi berupa kejadian tertentu, bisa juga dalam bentuk pertanyaan yang diajukan, sedang yang dimaksud sesudah turunnya ayat adalah bahwa peristiwa tersebut terjadi pada masa turunnya al-Qur’an, yakni dalam rentang waktu dua puluh dua tahun, yakni masa yang bermula dari turunnya al-Qur’an pertama kali sampai ayat terakhir turun.[4]
Ada beberapa unsur yang tidak boleh diabaikan dalam analisa asbab al-nuzul, yaitu adanya suatu kasus atau peristiwa, adanya pelaku peristiwa, adanya tempat peristiwa dan adanya waktuperistiwa. Kualitas peristiwa, pelaku, tempat dan adanya waktu perlu diidentifikasi dengan cermat guna menerapkan ayat-ayat itu pada kasus lain dan di tempat dan waktu yang berbeda.[5]                                         
2.        Faedah mengetahui Asbab al-Nuzul
Menurut sebagian ulama ada beberapa faedah mengetahui dan memahami asbab al-nuzul. Di antara ulama yang berpendapat seperti itu adalah:
1.    Ibnu al-Daqiq (w. 702 H)
     Ibnu al- Daqiq menyatakan bahwa mengetahui asbab al-nuzul merupakan metode yang utama dalam memahami pesan yang terkandung dalam al-Qur’an.
2.    Ibnu Taimiyah (w.726 H)
     Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa mengetahui asbab al-nuzul akan membantu dalam memahami ayat al-Qur’an, karena memahami sebab berarti juga mengetahui musabab.
3.    Al-Wahidi (w. 427)
     Al-Wahidi menyatakan sebagaimana dikutip oleh Al-Suyuthi bahwa tidak mungkin seseorang dapat menafsirkan suatu ayat tanpa mengetahui sejarah turunnya dan latar belakang masalahnya.[6]
     Dari pemaparan tiga ulama di atas bahwasanya faedah utama dari mengetahui asbab al-nuzul mengetahi sejarah turunnya suatu ayat dan latar belakangnya. Contohnya adalah firman Allah Swt Surah al-Baqarah ayat 158:
إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ
Artinya:
“sesungguhnya shafa dan marwah adalah sebagian dari syiar Allah. maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’I antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha mensyukuri kebaikan lagi Maha mengetahui.”
      Sesungguhnya ayat tersebut fokus pada hal dilarangnya melakukan sesuatu kekejian dan perbuatan yang diharamkan ketika melakukan sa’I anata bukit Shafa dan Marwah. Ayat tersebut sama sekali tidak mengatakan secara jelas mengenai kewajiban melakukan sa’I di antara kedua bukit tersebut. Lalu timbul suatu pertanyaan, “Mengapa ayat tersebut hanya menyinggung larangan berbuat dosaketika melakukan sa’i dan tidak mengumumkan kewajiban melakukan sa’i?”
       Jawaban dari pertanyaan di atas akan dapat kita ketahui dengan cara mengetahui terlebih dahulu faedah asbab al-nuzul ayat tersebut. Asbab al-nuzul ayat tersebut terjadi ketika sebagian sahabat ada yang melakukan perbuatan dosa disaat sa’i antara bukit shafa dan marwah, karena mereka masih terpengaruh dengan budaya Jahiliah. Lalu turunlah ayat tersebut. Turunnya ayat itu sebagai pemberitahuan agar akan larangan melakukan hal tersebut agar perbuatan itu hilang dari mendset dan kebiasaan mereka. Dan juga sebagai penjelasan bahwasanya bukit shafa dan marwah adalah bagian dari syi’ar Allah Swt, dan ibadah sa’i yang dilakukan antara kedua bukit tersebut bukanlah termasuk perbuatan orang-orang Jahiliah.[7]
       Sementara menurut al-Buthi, bahkan juga dari al-Suyuthi, al-Zarkasyi dan al-Zarqani masing-masing menyebutkan enam hingga tujuh macam faedah (akseologi)dari mempelajari ilmu asbabun nuzul, yaitu:
1.      Mengenali hikmah bagaimana Allah SWT. Menerangkan hukum-hukum yang disyariatkannya dengan melibatkan asbabun nuzul.
2.      Sangat membantu memahami ayat dalam rangka menghindari dari kemungkinan timbul kesulitan dari padanya; serta menolak kemungkinan dugaan pembatasan (al-hasr) dari redaksi yang secara literal mengisyaratkan pembatasan itu.
3.      Membantasi hukum dengan sebab tertentu bagi mereka yang menganut kaedah ungkapan (ibarat) didasarkan atas kekhususan sebab, bukan pada keumuman teks.
4.      Mengetahui bahwa sabab nuzul itu tidak akan keluar dari koridor hukum ayat tatkala ditemukan pengkhususan (mukhashishnya).
5.      Mengetahui secara jelas kepada siapa ayat itu ditujukan
6.      Mempermudah pemahaman dan pengokohan lintasan wahyu Allah kedalam hati orang-orang yang mendengarkan ayat-ayat Alquran.
7.      Meringankan hafalan, mempermudah pemahaman dan semakin memperkuat keberadaan wahyu Alquran didalam hati setiap orang yang mendengarkan ayat-ayat Alquran manakala dia mengetahui asbab nuzulnya[8]  
3.        Fungsi atau peran asbabun nuzul
Ada beberapa fungsi adanya asbabun nuzul dalam kajian tafsir, yang secara rinci telah dipaparkan oleh salah satu tokoh islam yaitu Al-Zarqoni. Berikut uraian beliau terkait macam-macam fungsi adanya asbabun nuzul:
1.      Membantu mengungkap rahasia dan tujuan secara khusus disyari’atkannya  agama lewat Alquran
2.      Dapat membantu dan mempermudah seseorang dalam memahami ayat Alquran
3.      Dapat memberikan keterangan tentang penolakan dugaan adanya pembatasan{ الحصر} dalam ayat yang menurut zahirnya mengandung pembatasan misalnya firman Allah yang terdapat dalam Surat Al An’am ayat 145 yang artinya: Tidaklah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya kecuali makanan itu bangkai atau darah atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih tidak menyebut nama Allah. Imam Syafi’i menyatakan bahwa hashr pada ayat tersebut bukanlah termasuk yang dimaksud dalam ayat tersebut, dengan alasan bahwa sebab turunya ayat diatas sehubungan dengan sikap orang-orang kafir yang tidak suka mengharamkan kecuali apa yang dihalalkan oleh Allah.
4.      Mengkhususkan suatu hukum pada sebab. Hal ini terbatas pada ulama yang memandang bahwa yang harus diperhatikan adalah kekhususan sebab dan keumuman lafad.[9]
Pernyataan senada terkait fungsi adanya Asbabun Nuzul juga disampaikan oleh as-Suyuthi, yang secara tegas mengatakan pentingnya peran Asbabun Nuzul dalam menafsirkan Alquran. Berikut ulasan akan pentingnya Asbabun Nuzul menurut as-Suyuthi:
1.      Mengetahui sisi-sisi positif (hikmah) yang mendorong atas pensyariatan hukum,
2.      Dalam mengkhususkan hukum bagi siapa yang berpegang dengan kaidah:”bahwasannya ungkapan (teks) Alquran itu didasarkan atas kekhususan sebab, dan
3.      Kenyataan menunjukkan bahwa adakalanya lafal dalam ayat Alquran itu bersifat umum, dan kadang perlu pengkhususan yang pengkhususannya itu sendiri terletak pada pengetahuan tentang sebab turun ayat itu.  

4.        Bentuk dan pola Asbabun Nuzul
Pengertian Asbabun Nuzul diatas memberikan indikasi bahwa sebab turunnya suatu ayat adakalanya berbentuk peristiwa dan adakalanya berbentuk pertanyaan[10]. Diktum ini menandakan bahwa Satu ayat atau beberapa ayat yang turun berfungsi untuk menerangkan hal yang berhubungan dengan peristiwa tertentu atau memberi jawaban terhadap pertanyaan  tertentu.  Di dalam peristiwa atau pertanyaan yang terkandung dalam asbabun nuzul terkadang ada redaksi pernyataan tegas mengenai sebabnya terkadang pula hanya mengandung kemungkinan saja.
 Bentuk pertama, yang subtansinya ada unsur ketegasan dan jelas bahwa yang disebutkan dalam riwayat merupakan sebab nuzul ayat Alquran ialah jika perawi mengatakan:”Sebab nuzul ayat ini adalah begini” diantara contohnya ialah sabab nuzul ayat (QS AL-Ahzab [33]:6), atau menggunakan  fa ta’qibiyah (kira-kira seperti “maka”, yang menunjukkan urutan peristiwa). Yang dirangkaikan dengan kalimat “turunlah ayat”, sesudah ia menyebutkan peristiwa atau pertanyaan. Misalnya, ia mengatakan سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم عن كذا فنزلت الاية  “Rasulullah ditanya tentang hal begini, maka turunlah ayat ini.” Dengan demikian bentuk redaksi pernyataan tadi jelas akan sebab turunnya ayat. Selain itu adanya pertanyaan kepada Rasulallah yang kemudian dijawab Allah dengan turunnya ayat Alquran walau tidak ada kata sabab dalam periwayatannya atau tidak adanya fa’ litta’qib contohnya seperti ayat 215 Al-Baqarah [2].
Bentuk yang kedua, yaitu redaksinya boleh jadi menerangkan sebab nuzul atau hanya sekedar menjelaskan kandungan hukum ayat contoh bila perawi mengatakan  نزلت هذه الأية في هكذا artinya “ayat ini turun mengenai ini”. Redaksi ini dapat memunculkan interpretasi bahwa pernyataan itu hanya ingin menjelaskan sebab turunnya ayat saja atau ingin menjelaskan kandungan hukum.[11]
Dari sini dapatlah diketahui bahwa manakala terdapat dua redaksi sabab nuzul berkenaan satu objek (objek yang sama ),salah satunya adalah teks sababiah guna menurunkan satu atau beberapa ayat, sementara yang lain bukan dalam bentuk teks sababiah bagi penurunan satu atau beberapa ayat itu. Maka solusinya ialah harus mendahulukan nash sababiah, sementara yang lainnya diasumsikan sebagai penjelasan bagi isi kandungan yang hendak dicapai oleh ayat. Alasannya, mengingat teks dalam kaitan ini penyebutan kata sabab tentu akan jauh lebih kuat dalam hal penunjukannya dibandingkan penunjukan atas dasar kemungkinan (asumsi).[12]
5.        Konsep al ibaratu bi umumi lafad la bi khususi sabab
Dalam pandangan ini, apabila ada ayat yang turun sesuai dengan sebab secara umum atau sesuai sebab secara khusus, maka yang umum (a’am) diterapkan pada keumumannya dan yang khusu (khass) pada kekhususannya. Contoh yang pertama bersifat umum dan diterapkan pada keumumannya ialah firman Allah (Al-baqarah (2):222):
 وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: haid adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita diwaktu haid dan janganlah kamu mendekati meraka sebelum mereka suci maka campurilah wanita itu di tempat yang diperintahkan oleh Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri. (Al-Baqarah (2) 222).  
Anas berkata: “bila istri orang-orang yahudi haid, mereka dikeluarkan dari rumah, tidak diberi makan dan minum dan di dalam rumah tidak boleh bersama-sama. Lalu Rasulullah ditanya tentang hal itu, maka Allah menurunkan : “Mereka bertanya kepadamu tentang haid”. Kemudian Rasulullah berkata: “Bersama-samalah kalian dengan mereka di rumah, dan perbuatlah segala sesuatu kecuali menggaulinya”.
Melihat kasus diatas mendeskripsikan akan keumumannya pemberlakuan suatu hukum bagi seluruh suami dalam berintraksi dengan istrinya dikala haid dan hanya dilarang menggauli istrinya dikala haid saja.
Contoh kedua bersifat  khusus dan diterapkan pada kekhususannya seperti pada surah (al-lail (92)17) وَسَيُجَنَّبُهَا الْأَتْقَى الَّذِي يُؤْتِي مَالَهُ يَتَزَكَّى  Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling taqwa itu dari neraka, yang menafkahkan hartanya dijalan Allah untuk membersihkannya”. Ayat ini diturunkan kepada Abu Bakar. Kata al-atqa (orang yang paling bertaqwa) menurut tasrif berbentuk af’al untuk menunjukkan arti superlatif, tafdil yang disertai al-adiyah (kata sandang yang menunjukkan bahwa kata yang dimasukinya itu telah diketahui maksudnya), sehingga ia dikhususkan bagi orang yang karenanya ayat itu diturunkan. Sehingga boleh dikata bahwa ayat ini diterapkan kekhususannya pada Abu Bakar terlepas fungsi Alquran itu sebenarnya tidak dikhususkan pada orang-orang tertentu.
Jika sebab itu khusus, sedangkan ayat yang diturunkan berbentuk umum, maka para ulama’ berselisih pendapat: apakah yang dijadikan pegangan itu lafal yang umum apa saba yang khusus?. Pertama, jumhur ulama’ bahwa yang jadi pegangan adalah lafad yang umum dan bukan sabab yang khusus. Dengan alasan bahwa hukum yang diambil dari lafal yang umum itu melampaui bentuk sabab yang khusus sampai pada hal-hal yang serupa dengan itu. Misalnya ayat li’an yang turun mengenai tuduhan Hilal bin Umayah kepada istrinya yaitu pada surah (an-Nur (24):6-9.). hukum yang diambil dari ayat ini tidak hanya mengenai Hilal, akan tetapi diterapkan pula pada kasus lainnya tanpa memerlukan dalil lainnya. Yang kedua, segolongan uama’ berpendapat yang menjadi pegangan adalah sebab yang khusus, bukan lafal yang umum; karena lafal yang umum itu menunjukkan bentuk sebab yang khusus. Oleh karena itu, untuk dapat diberlakukan kepada kasus salain sebab diperlukan dalil lain seperti qias dan sebagainya. Sehingga pemindahan riwayat sebab yang khusus itu mangandung faedah dan sebab tersebut sesuai dengan musababnya seperti halnya pertanyaan dengan jawabanya.


Kesimpulan
Asbabun Nuzul merupakan ilmu yang membahas perihal sabab nuzul dari ayat Alquran. Ilmu ini tumbuh dan berkembang secara evolusi dan alamiah. Maksudnya, berkembang sedikit demi sedikit dan tidak pernah direkayasa apalagi dipaksakan. Konsep penurunan ayat Alquran didalamnya ada penyesuaian dengan sesuatu yang melatarbelakanginya (turun dengan situasional). Yang pada dasarnya dibedakan ke dalam dua bentuk. Pertama, sebagai jawaban atas pertanyaan dan permohonan informasi secara formal maupun tidak formal yang diajukan siapa pun kepada Nabi Muhammad Saw. Kedua, merespon suatu atau beberapa peristiwa yang telah maupun yang akan terjadi ditengah-tengah masyarakat.[13]
Dilihat dari faedah akan keberadaan asbabun nuzul antara lain yaitu dapat mengenali hikmah bagaimana cara Allah SWT. Menerangkan hukum dengan melibatkan asbabun nuzul, mempermudah pemahaman dan pengokohan lintasan wahyu, dan mengetahui secara jelas kepada siapa wahyu itu ditujukan.
Namun sayangnya, masih ada segelintir penafsir yang masih mengkritik atau meragukan akan keotentikannya asbabun nuzul. Alasannya antara lain karena perawi tidak meriwayatkan asbabun nuzul secara lisan dan tertulis, melainkan dengan meriwayatkan suatu kisah yang kemudian menghubungkan Alquran pada kisah tersebut. Dan boleh disimpulkan bahwa asbabun nuzul disebutkan atau diriwayatkan hanya melalui pendapat bukan dari pencatatan yang langsung dari zaman nabi.[14]
Daftar Pustaka
Manna khalil al-Qattan, Mabahis fi Ulumil Alquran. Terj, Mudzakir AS.(Bogor: Litera antar nusa 2012) Cet.3.
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an. (jakarta: Rajawali Pers, 2014.)cet.2.
Abu Anwar, ULUMUL QUR’AN Sebuah Pengantar, (AMZAN, juli, 2009).cet. 3.
Muhammad Husain Thabathaba’i, AL-Quran fi Islam, ter, malik madany dan hamim ilyas. (bandung: mizan, april, 2009).cet.1
Muchlis M Hanafi,Asbabun Nuzul kronologi dan Sebab turun Wahyu Alquran, jakarta: lajnah pentashihan Mushaf al-Quran,2015.
M. Quraish Shihab dkk, Sejarah & ‘Ulum al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, Tanggerang: Lentera Hati, 2013
Al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Dar al-Fikr,
Muhammad Baqir Hakim, Ulumul Qur’an, Jakarta: Al-Huda.




     [1]Muchlis M Hanafi,Asbabun Nuzul kronologi dan Sebab turun Wahyu Alquran, jakarta: lajnah pentashihan Mushaf al-Quran,2015,hlm.XIII.
     [2] Muchlis M Hanafi,Asbabun Nuzul kronologi dan Sebab turun Wahyu Alquran. Hlm,4-6.
     [3] M. Quraish Shihab dkk, Sejarah & ‘Ulum al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008, hlm. 77-78
[4] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, Tanggerang: Lentera Hati, 2013, hlml. 234
[5] M. Quraish Shihab dkk, Sejarah & ‘Ulum al-Qur’an, hlm 78
[6] Al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Dar al-Fikr, tt, hlm. 29
[7] Muhammad Baqir Hakim, Ulumul Qur’an, Jakarta: Al-Huda, hlm. 39-40
      [8] Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an. (jakarta: Rajawali Pers, 2014.) hlm.213
      [9] Abu Anwar, ULUMUL QUR’AN Sebuah Pengantar, (AMZAN: juli,2009). Hlm.37-39.
   [10] Abu Anwar, ULUMUL QUR’AN Sebuah Pengantar, hlm.29-30
   [11]Manna khalil al-Qattan, Studi ilmu-ilmu Quran. Terj, Mudzakir AS. Litera antar nusa.Bogor.2012. Cet.3.hlm 120-121.
   [12]Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an. (jakarta: Rajawali Pers, 2014.) hlm.232.
   [13] Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an. (jakarta: Rajawali Pers, 2014.) hlm. 208.
   [14] Muhammad Husain Thabathaba’i, AL-Quran fi Islam, ter, malik madany dan hamim ilyas. (bandung: mizan, april, 2009).cet.1.hlm. 202.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar