Kamis, 04 Januari 2018

Makalah kitab tafsir al-samarqandi

BAB 1
Pendahuluan
A.  Latar belakang masalah
Memahami esensi dari sebuah kitab tafsir sangatlah diperlukan. Baik masalah corak penafsirannya, pendekatan yang diambil dan gaya bahasa yang dipakainya. ada yang pendekatannya memakai pendekatan bahasa, ada juga yang corak penafsirannya lebih dominan diriwayat walau kadang diselipi tafsir yang menjelaskan tentang ilmu Qira’at. Sebut saja tafsir Bahr al-Ulum karangan al-Samarqandi, tafsir ini lebih condong menggunakan metode riwayat untuk menafsirkan Al-Qur’an. 
Sangat penting bagi kita untuk mengkaji terlebih dulu metodologi atau pendekatan yang diterapkan oleh al-Samarqandi (yang secara garis besar lebih kepada riwayat). Soalnya tidak menutup kemungkinan adanya pendekatan lain dalam tafsir tersebut. Atau kita kaji (walau melalui pendapat ulama’ tentang kitab itu) seberapa kuat riwayat yang dipakai oleh al-Samarqandi. Bisa jadi konsep riwayat yang dipakai masih lemah atau dari riwayat yang tidak jelas.


B.   Rumusan masalah
1.      Biografi penulis yaitu al-Samarqandi
2.      Metodologi penafsiran dan sistematika penyajiannya.
3.      Contoh penafsiran dan Pandangan ulama tafsir lainnya tentang tafsir Bahr al-Ulum


BAB II
Pembahasan

A.  Biografi Penulis
Pengarang tafsir Bahr al-Ulum mempunyai nama lengkap “Abu al-Laits Nashr bin Muhammad bin Ahmad bin Ibrahim al-Samarqandi.[1] Beliau mempunyai nama-nama julukan antara lain al-Faqih. Al Faqih yang menandakan bahwa beliau telah sampai pada derajat yang tinggi dalam dunia ilmu Fiqih yang mana pada saat itu tiada seorangpun yang dapat menyamainya pada zamannya. Beliau begitu menyukai julukan tersebut dan beliau juga tabarrukan dengan julukan tersebut, di karenakan julukan tersebut diberikan langsung oleh Nabi Saw melelui mimpi beliau. Hal itu terjadi ketika beliau mengarang kitab “Tanbihul Ghafilin” lalu beliau membawa kitab tersebut untuk sowan ke Raudlahnya Nabi Saw setelah itu beliau menginap di sana, kemudian beliau bermimpi melihat Nabi Saw mengambil kitabnya seraya berkata “Ambillah kitabmu, Wahai Faqih”. Lalu beliau pun terjaga dan beliau menemukan di dalam kitabnya tempat-tempat yang di koreksi Nabi. Dan julukan yang lainnya yaitu  Imam al-Huda. Beliau yang dikenal sebagai seorang fakih, muhaddis, dan mufassir ini dilahirkan di desa Samarqan, Uzbekistan, salah satu kota besar di Khurasan. Namun, tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, hanya dikatakan sekitar abad IV H, yakni antara tahun 301 H – 310 H. Beliau sangat dikenal dengan kata-katanya yang selalu mengandung hikmah dan karya-karyanya yang cukup terkenal.
Beliau dilahirkan di Samarkand yang merupakan salah satu kota dari Khurasan, sekarang masuk dalam daerah Uni Soviet,[2] ada pula yang mengatakan bahwa kota itu termasuk bagian Arab, Samarkand merupaan kota yang besar beserta beberapa iklim di dalamnya. Kota ini juga menjadi kiblat bagi para pelajar yang haus akan ilmu pengetahuan, karena banyak dari fuqaha’ , mutasawwif yang pergi kesana. Sehingga pada saat itu Samarkand menempati tempat tertingi di antara negara-negara Islam dalam hal keilmuan.
Mazhab yang dianut oleh beliau adalah mazhab hanafi,[3] oleh karenanya beliau melakukan perjalanan ke kota Balkh dan berguru kepada beberapa guru yang ternama, antara lain ; Abu Ja’far al-Handawani (w. 326 H), Muhammad bin al-Fadhl al-Balkhi seorang mufassir (w. 319 H). Khalil bin Ahmad bin Isma’il (w. 368 H) dan Muhammad bin al-Hasan al-Haddadi (w.  388 H). Beliau wafat pada malam Rabu, 11 Jumadil Akhir 395 H, dan dimakamkan di kota Balkh berdampingan dengan guru utamanya Abu Ja’far al-Handawani. Beliau mempunyai murid-murid antara lain; lukman al-Farghani dan Na’im al-Khatib Abu Malik.[4]
Di antara karya-karyanya:
1. Khizanah al-Fiqh (tercetak)
2. Tanbih al-Ghafilin fi al-Wa’zh wa al-Akhlaq wa al-Ta’ammul (tercetak)
3. al-Nawazil fi al-Fatawa
4. Ta’sis al-Nazhahir al-Fiqhiyyah
5. ‘Uyun al-Masa’il Furu’ al-Fiqh al-Hanafi (tercetak)
6. Bustan al-‘Arifin (tercetak)
B. Gambaran umum tafsir Bahr al-Ulum
          Kitab tafsir ini mencakup seluruh ayat-ayat al-Qur’an dicetak pertama kali oleh Lajnah al-Wathaniyah, Baghdad, pada awal 15 H. Kemudian diterbitkan lagi oleh al-Irsyad, Riyadh, pada tahun 1405 H/1985 M, dan ditahkik oleh Dr. Abd al-Rahim ahmad al-Zuqqah. Lalu penerbitan berikutnyadi Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut.
       Al-Laits al-Samarqandi menghimpun didalam kitabnya dua pendekatan, yakni bi al-riwayah dan bi a-dirayah. Namun secara umum beliau menggunakan metode tafsir bi al-riwayah. Beliau juga terkadang mengutip pendapat para sahabat dan ahli-ahli bahasa. Sementara untuk al-ashab al-nuzul beliau mendasarkan pada kitab-kitab sejarah, didalam kitab ini juga dibicarakan nasikh-mansukh  dan ilmu qira’at.
       Secara umum al-Samarqandi tidak menjelaskan karakteristik penafsirannya, baik di bab muqaddimahnya maupun di beberapa penafsirannya, kecuali beliau hanya memulainya dengan memberi dorongan agar mempelajari tafsir. Di dalam bab ini disebutkan beberapa hadits shahih tafsir, syarat-syarat seorang mufassir, dan larangan menafsirkan dengan ra’yu, baru kemudian beliau menafsirkan ayat-ayat, yang dimulai dari surah al-Fatihah.
       Dalam penafsirannya, beliau berpedoman pada para sahabatdan tabi’in, seperti Ibn ‘Abbas, Ibn Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Mujahid bin Jabr, Hasan al-Bashri, dan lain-lain.
       Dalam bentuk tafsir naqli, beliau banyak menyandarkan kepada pakar-pakar tafsir, seperti Muqatil bin Sulaiman, Qatadah bin Da’aman. Sedangkan dari sisi bahasa, beliau menyandarkan pendapatnya kepada al-Zajjaj, al-Farra’, Ibn Qutaibah al-Dinawari, dan Abi ‘Ubaidah Ma’mar bin Mutsanna.

C. Karakteristik kitab Bahr al-‘Ulum
Sebagai tafsir yang bercorak riwayat, tafsir al-Samarqandi termasuk tafsir tahlily dengan demikian, operasional dalam tafsirnya menggunakan sumber-sumber  dan pendekatan yang digunakan dalam penafsirannya.
a. Sumber-sumbernya adalah :
1. Menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, karena  suatu asumsi dasar bahwa al-Qur’an yufassiru ba’duhu ba’dan. Dalam hal ini, Al-Suyuthi berpendapat bahwa barang siapa yang ingin menafsirkan al-Qur’an, yang pertama harus dilihat adalah al-Qur’an karena tidak ada sebuah penafsiran yang paling akurat keculi dengan al-Qur’an.[15] Seperti disebutkan dalam al-Qur’an :
والذين آمنوا وعملوا الصالحات سندخلهم جنات
     Menurut Abu al-Laits ayat di atas ditafsirkan dengan ayat :
مثل الجنة التى وعد المتقون فيها انهار من ماء  غير آس .......
2. Sumber kedua dalam menafsirkan al-Qur’an adalah hadis. Menurut abu al-Laits bahwa bilamana tidak ditemukan penjelasannya dalam al-Qur’an, maka sebagian penjelasan diambil dari hadis.
3. Sumber ketiga adalah perkataan sahabat. Di antara sahabat yang banyak dinukil oleh Abu al-Laits adalah Ali bin abi Thalib, Umar bin Khattab, Ubay bin Ka’b, Ibnu Abbas, Jabir bin Abdullah, Abdullah bin Zubair dan sahabat yang lainnya.
4. Sumber keempat adalah perkataan tabi’in. Di antara mereka yang dijadikan sumber tafsir di kalangan tabiin adalah  al-Hasan, Said bin Jubair, Atha’, ‘Ikrimah, Wahab bin Munabbih, al-Suddy, Muqatil, dan sumber paling banyak diambil dari Mujahid.[5]
Metodologi yang diterapkan oleh al-Samarqandi adalah dengan mendasarkan pada riwayat-riwayat, baik yang bersumber dari Nabi, sahabat dan tabi’in. Beliau memulai  penafsirannya dengan menjelaskan kandungan umum surah, tempat turunnya, keutamaannya, dan hukum-hukumnya, termasuk yang terkait dengan bahasa dan sastra, jika memang ada, begitu juga asbab al-nuzul dan ilmu qira’at.
Abu Al-laits dalam menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an digunakan beberapa pendekatan berupa  ilmu-ilmu yang berkaitan dengan ilmu tafsir, karena hal itu sangat diperlukan dalam menafsirkan al-Qur’an. Di antaranya adalah:
1. al-Lughawy
            Bahasa mempunyai peranan penting dalam menafsirkan al-Qur’an, karena bagaimana mungkin lahir sebuah penafsiran yang akurat tanpa didasari dengan pengetahuan bahasa Arab. Oleh karenanya, Abu al-Laits menyatakan bahwa tidak boleh seseorang menafsirkan al-Qur’an dengan pendapatnya sendiri sebelum mengenal dan mengetahui bahasa Arab dan asbab al-nuzul.[18]
            Dalam aspek kebahasan ini Abu al-Laits memeperhatikan beberapa hal, yaitu dari segi makna lafaz, jika tidak ditemukan makna dari al-Qur’an maka kembali kepada kalam Arab atau syair yang berkaitan dengan kata itu. Disisi lain pula dari aspek kebahasaan ini adalah aspek nahwu, sharaf dan balagahnya.
2.   Ulum al-Qur’an
    Tentang ulum al-Qur’an ini dalam pengantar kitabnya dia membagi kepada bebarapa bagian, yaitu:
            Pertama, mengenai qira’at.
Abu al-Laits sangat memperhatikan qiraat sampai dia mengemukakan beberapa qira’at dengan menyebutkan argumen masing-masing, kemudian terkadang menguatkan salah satunya atau menggabungkan keduanya, misalnya dalam Qs. Al-Baqarah 2: 59 “ وقلو خطة“  Kata “khiththah” ada yang membacanya dengan rafa’ dan yang lainnya membaca nasab, menurutnya bahwa pendapat kedua adalah syaz. Dan yang paling kuat adalah rafa’.[19]
            Kedua, al-Nasikh al-Mansukh.
            Dalam persoalan ini terdapat perbedaan ulama dalam menyikapinya, akan tetapi Abu al-Laits tanpaknya tetap mamahami bahwa dalam al-Qur’an ada al-nasikh wa al-mansukh, baik dalam bentuknya al-Qur’an bil al-Qur’an maupun dalam bentuk al-Qur’an bil al-hadis, misalnya dalam QS al-Nisa 15, menurutnya ayat ini dinasihk dengan hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari Ubadah bin Shamith, sesungguhnya Nabi bersabda: Allah telah menjadikan baginya (perempuan yang berzina) jalan, yaitu perjaka dengan gadis dipukul dengan 100 kali, al-sayyib dengan al-sayyib dirajam dengan batu.
            Ketiga, asbab al-Nuzul,
            Asbab al-nuzul adalah salah satu alat yang sangat penting dalam memahmi ayat al-Qur’an, karena terkadang dalam satu ayat itu memiliki sebab turunnya, sehingga bila seseorang tidak memahami sebab turunnya tentu pemahamannya pasti keliru. Dengan demikian, tentunya juga Abu al-Laits sangat memperhatikannya dalam menafsirkan ayat yang ada asbab al-nuzulnya.
            Keempat, masalah fiqhi.
            Sebagaimana telah diosebutkan terdahulu bahwa Abu al-Laits memiki gelar “al-faqih” sudah barang tentu dia memiliki ilmu yang sangat mendalam tentang fikh. Dan fikhnya bercorak Hanafy, akan tetapi meskipun bermazhab Hanafi dia tidak memihak kepada corak fikhinya dalam penafsirannya. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam Qs. Al-Baqarah 222, yang menjelaskan boleh tidaknya perempuan yang sudah haid digauli sebelum mandi wajib. Ayat ini bila dibaca dengan “يطهرن “ dengan tasydid huruf tha dan ha maka berarti samapi suci dari haid. Jadi boleh mendekatinya sebelum dia mandi. Akan tetapi bila dibaca dengan “يطهرن” tanpa tasydid bermakna sampai dia mandi. Jadi baru boleh dodekati bila dia sudah mandi wajib.
     Abu al-Laits dalam kasus ini menerima kedua pendapat ini dengan alasan bahwa apabila perempuan masa haidnya kurang dari sepuluh hari maka tidak boleh didekati sebelum mandi wajib, akan tetapi bila masa haidnya lebih dari sepuluh hari lalu dia bersih, maka ketika bersih boleh didekati tanpa mandi wajib dulu.
D.    Analisis terhadap  metode tafsir Abu al-Laits dalam Qs. Al-Fatihah 1-7
            Dalam sub bahasan ini pemakalah akan menganalisa penerapan tafsir Abu al-Laits dalam Qs. Al-Fatihah, yang tentunya dalam penerapannya berdasarkan kepada metode yang telah diperpeganginya. Akan tetapi menurut pemakalah bahwa tidak kesemuanya metode yang telah dikemukakannya  diterapkan dalam kasus surah Al-fatihah.
            Sebagaimana dengan mufasir lainnya, Abu al-Laits dalam memulai tafsirnya ini hampir sama dengan mufasir sebelumnya, yaitu terlebih dahulu mengemukakan nama surah, tempat turunnya dan jumlah ayatnya.
Dalam kasus surah al-Fatihah berbeda dengan yang lainnya. Dia  pertama-tama dia memulai tafsir dalam pembahasan khusus tentang basmalah, dia memishkan dengan surah al-Fatihah, meskipun basmalah itu tetap dikategorikan sebagai satu dari surah al-Fatihah.
Dalam uraian tafsirnya tentang basmalah itu berdasarkan sebuah riwayat  dari ‘Am³r dia berkata: bahwa Rasulullah menulis sebuah surat dengan memulai dengan kata “باسمك  اللهم “, maka turunlah ayat ke-41 surah Hud “ بسم الله مجريها ومرسيها “ maka digantilah dengan kata “bismillah”  setelah itu turunlah ayat ke- 110 surah Bani Israil : “قل أدعوا الله  أدعوا  الرحمن “ maka ditambahlah dengan kata “الرحمن “ kemudian turunlah ayat ke-30 surah al-Naml : “إنه  من سليمان وإنه بسم الله الرحمن الرحيم “ maka disempurnakanlah dengan kalimat bismillah ini. Berdasarkan riwayat ini bahwa bismillah itu tidak semua diawal surah itu merupakan ayat dari surah tersebut.
Kemudian menjelaskan tentang perlunya basmalah itu dibaca setiap kali ingin melakukan sesuatu pekerjaan dan mamfaatnya dengan berdasarkan riwayat-riwayat.
Memasuki penafsiran al-Fatihah Abu al-Laits tidak menjelaskan lagi bagaimana kedudukan basmalah itu dalam surah al-Fatihah, meskipun dalam surah ini tetap menganggap basmalah itu sebagai ayat pertama. Dan dia hanya langsung menjelaskan mengenai tempat turunnya, apakah di Mekah atau di Madinah. Di sini Abu al-Laits mengemukakan beberapa riwayat, yaitu dari Mujahid, yang menurutnya bahwa surah ini turun di Madinah, sementara yang lainnya  (Abu Salh dari Ibn Abbas) menyebutkan bahwa turun di Mekah, dan ada juga pendapat bahwa surah ini dua kali turun, sekali turun di Mekah dan sekali tururn di Madinah.
            Dari argumen yang dikemukakan oleh Abu al-Laits di atas tidak menetapkan salah satu pendapat yang lebih kuat, dia hanya memaparkan riwayat-riwayat begitu saja tanpa ada suatu analisa.
            Kemudian Abu al-Laits menjelaskan nama selain dari surah al-Fatihah dengan mengemukakan beberapa riwayat. Salah satu riwayat yang disebutkan dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: ‘sesungguhnya Allah menurunkan dalam kitab-Nya satu surah kepada Nabi, kemudian Uba’y bi Ka’ab ditanya tentang surah itu. Lalu dia bertanya apakah yang anda baca dalam shalatmu? Di jawab Umm al-Kitab kemudian Nabi berkata bahwa demi Allah tidak ada yang diturunkan dalam Taurat dan Injil sepertinya, yaitu al-sab’u al-matsani dan al-Qur’an al-‘Azim. Dan dinamakan al-sab’u al-matsani  karena dibaca setiap raka’at shalat.
            Setelah menjelaskan nama dan tempat turunnya, Abu al-Laits memulai panafsirannya ayat demi ayat dengan beberapa pendekatan:
1.       Pendekatan Atsar
   Sebagaimana yang telah disebutkan bahwa tafsir Abu al-Laits adalah sebuah tafsir yang memiliki corak bil al-ma’tsur yang sebagai acuannya dalam menafsirkan ayat. Namun menurut penelitian penulis, sekalipun tafsirnya dikategorikan sebagai tafsir bil al-ma’tsur, tidak semuanya ayat yang ditafsirkan berdasarkan riwayat, bahkan dalam satu ayat tidak dikemukakan riwayat.
  Dalam kasus al-Fatihah ini, misalnya ketika menafsirkan kalimat al-hamdu lillah Abu al-Laits hanya mengemukakan  beberapa riwayat saja, di antaranya adalah dari Ibn Abbas, yaitu bahwa kalimat ini bermakna  semua bentuk syukur, hal ini ketika Adam bersin dia mengucapkan “al-hamdu Lillah”  lalu Allah menjawabnya  “yarhamkum Allah”. Hadis ini hanya sebagai penguat ketika menjelaskan penggunaan kata-kata antara lafaz al-hamd dengan al-syukr.
2.      Pendekatan Kebahasaan
  Pendekatan ini dapat dibuktikan ketika menafsirkan kalimat “alhamd Lillah” menurtnya bahwa kalimat ini bermakna “al-Sykr Lillah”  pendapat ini sejalan yang dikemukakan oleh Ibn Abbas, yaitu syukur kepada Allah atas segala nikmat-Nya.[6]
  Menurut ahli bahasa bahwa kata ini (al-hamd) sama artinya dengan al-syukr, akan tetapi sebagian yang lainnya tetap membedakan pengertian keduanya. Kata al-hamd  lebih umum dari kata al-syukur, yang lainnya berpendapat bahwa kata al-syukr lebih umum dari kata al-hamd, karena kata al-syukur digunakan baik dalam bentuk kata-kata maupun dalam bentuk perbuatan, sementara al-hamd hanya dalam bentuk biasa.
  Menurut Quraish Shihab bahwa ada tiga hal yang harus dipenuhi oleh orang yang dipuji, sehinga dia atau perbuatannya layak dipuji, yaitu, indah, diperbuat secara sadar dan tidak dipaksa. Jadi kata al-hamd dalam surah al-Fatihah ditujukan kepada Allah.
3.      Pendekatan Qiraat
  Sebagaiman telah dijelaskan bahwa Abu al-Laits dalam menafsirkan ayat sangat memperhatikan qiraat-qiraat jika dalam ayat tersebut terdapat perbedaan qiraat dengan mengemukakan pendapat masin-masing ahli qiraat.
  Misalnya dalam ayat ke4 dan ke-6, menurutnya bahwa ayat ke-4 terdapat dua bacaan, yaitu ada yang membaca dengan memanjangkan huruf mim-nya        “مالك”  dan kedua dengan memendekkan mim-nya “ملك”. Bacaan ini didasarkan beberapa riwayat yang shahih. Ulama yang membaca tanpa alif seperti Nafi’, Ibn Kasir, Hamzah, Ibn Amar bi Al-Ala’ dan Ibn Amir dengan makna ‘raja’. Sementara yang membaca dengan alif yaitu al-Kisai dengan mengartikan ‘pemilik’.
  Abu al-Laits dalam menyikapi kedua pendapat ini, agaknya condong kepada pendapat kedua sekalipun pada awalnya dia membaca tanpa alif, akan tetapi dengan motivasi salah satu hadis Nabi, bahwa siapa saja yang memabaca al-Qur’an maka baginya setiap huruf sepuluh kebaikan.
Salah satu ulama’ yang sudah mengkaji dan memberikan komentar tentang tafsir Bahr al-Ulum adalah  Al-Dzahabi, dalam kitabnya al-Tafsir wa al-mufassirun berkata , “Ketika saya meneliti tafsir ini, saya temukan pengarangnya menggunakan tafsir bi al-ma’tsur, sebagai mana yang ditetapkan oleh ulama’-ulama’ salaf. Ia mendasarkan penafsirannya kepada riwayat-riwayat, dari sahabat,  dan mufassir-mufassir setelahnya. Hanya saja, ia tidak atau jarang sekali menyebutkan perawinya, berbeda dengan Ibn Ja’far al-Thabari. Dia juga menyebutkan qira’atnya tetapi hanya sekedarnya saja, sebagaimana ia juga terkadang menyinggung sisi kebahasaannya. Dalam menafsirkan ayat, ia juga menggunakan metode tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an jika memang terdapat ayat lain yang menjelaskan ayat yang sedang ditafsirkan tersebut.
  Al-Samarqandi, di dalam penjelasan sisi kebahasaan, menyandarkan kepada para pakar bahasa. Dalam satu penelitian menunjukkan bahwa al-Laits tidak menyertakan perawinya setiap kali ia menyebutkan riwyat-riwayat sebagaiman yang lazim dikenal dalam penafsiran bi al-ma’tsur, seperti yang dilakukan oleh al-Thabari. Hanya saja al-Laits telah menjelaskan alasan di al-mukaddimah kitabnya, Bustan al-‘Arifin, kenapa ia tidak menyebutkan perawinya, ia berkata:
Saya sengaja membuang sanad-sanad haditsnya,untuk mempermudah para pembacanya, meringankan para pengkajinya, serta demi kemanfaatan yang lebih luas…”
   Pertanyaan al-Laits tidak bisa secara mutlak dipahami sebagai sikap ketidakpedulian beliau terhadap penyebutan nama-nama perawi. Sebab, dibeberapa tempat, beliau juga menyebutkan nama-nama perawinya sekiranya hal itu terdapat perbedaan jalur periwayatan (thariqah).
   Ia terkadang juga meriwayatkan hadits-hadits dhaif tanpa memberi komentar dan kritikan. Begitu juga terhadap kisah-kisah israiliyat, hampir tidak disertai nama perawinya dan tidak memberi pernjelasan sekitar kelemahannya. Diantara kisah-kisah israiliyyat itu adalah kisah Malaikat Harut dan Marut (QS: al-Baqarah/2: 102), terusirnya Adam dari surga (QS al-Baqarah/2:36), dan kisah Jalut dan bala tentaranya (QS al-Baqarah/2:250). Dan banyak kisah-kisah lain yang tidak sesuai dengan pokok-pokok ajaran syari’at dan bertentangan dengan akal sehat.
  Sementara itu, terkait dengan ayat-ayat hukum, al-Laits hanya menyinggung sekedarnya saja, yang sekiranya dibutuhkan dalam penafsiran. Al-Laits memberikan perhatian cukup besar terhadap bi al-ma’tsur, baru kemudian beliau menjelaskannya dari sisi kebahasaan, ilmu qira’at, makiyyah-madaniyya, nasikh-mansukh dan lain-lain.

Kesimpulan
Tafsir Bahr al-Ulum merupakan ssalah satu karya Abu al-Laits, karya yang sangat kental dengan tinjauan riwayat. Sebuah pendekatan ini wajar diterapkan oleh beliau, mengingat pada zaman itu masih kental dengan dunia riwayat. Menariknya beliau banyak mengungkapkan riwayat tersebut tanpa adanya perawi.
Selain kental dengan riwayat, dalam tafsir ini ada pendekatan bahasa, atsar, dan qiraat. Pendekatan-pendekatan inilah bisa menjadi bukti bahwa beliau memang pintar dalam beberapa bidang, bukan hanya dalam dunia riwayat.
            Salah satu ulama’ yang berkomentar tentang tafsir ini adalah Al-Dzahabi, beliau berkata bahwa tafsir ini kental dengan tafsir bi al-ma’tsur.

Daftar pustaka
Al-Laits Nashr bin Muhammad, Tafsir al-Samarqandi, pentahqiq. Zakariya abdul majid dkk. (lebanon; dar al-kutub, 1993). Cet.1.
Husnul Hakim, ENSIKLOPEDI KITAB-KITAB TAFSIR, (Depok: Lingkar Studi al-Qur’an, 2013). Cet. 1.
Tafsir al-Samarqandi, (online). (http://www.kumpulanmakalah.com/2016/09/studi-kritis-tafsir-bahr-al-ulum.html. diakses 02 november 2017).



[1]Husnul Hakim, ENSIKLOPEDI KITAB-KITAB TAFSIR, (Depok: Lingkar Studi al-Qur’an, 2013). Hal. 25.
[2] Al-Laits Nashr bin Muhammad, Tafsir al-Samarqandi, pentahqiq. Zakariya abdul majid dkk. (lebanon; dar al-kutub, 1993). Cet.1. hal. 7.
[3]Husnul Hakim, ENSIKLOPEDI KITAB-KITAB TAFSIR, Hal. 25.
[4] Al-Laits Nashr bin Muhammad, Tafsir al-Samarqandi. Hal.10.
[5] Tafsir al-Samarqandi, (online). (http://www.kumpulanmakalah.com/2016/09/studi-kritis-tafsir-bahr-al-ulum.html. diakses 02 november 2017).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar