Kamis, 04 Januari 2018


Permulaan penciptaan manusia dan keraguan malaikat akan kemampuan manusia

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ (30)

Ingatlah ketika tuhanmu berfirman kepada malaikat: “sesungguhnya aku hendak menjadikan seseorang khalifah di muka bumi. Mereka berkata:”Mengapa engkau hendak menjadikan  khalifah di bumi. Itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji engkau dan mensucikan engkau? “tuhan berfirman;”sesungguhnya aku mengetahui yang tidak kamu ketahui”.


       Kosa kata: خَلِيفَة mempunyai arti fa’il yaitu pengganti dari pihak sebelumnya baik itu para malaikat maupun selain dari malaikat[1]. Yang dimaksud Pengganti (khalifah) yaitu berfungsi untuk  pemimpin negara atau kaum dalam mengelola dan memakmurkan bumi. juga dapat diinterpretasikan dengan pengganti dalam menegakkan hukum menuju kemaslahatan bagi manusia.

       Munasabah: korelasi ayat ini dengan ayat-ayat sebelumnya adalah penjelasan tentang kenikmatan di dunia ini berupa kehidupan yang awalnya mati dan dilengkapi dengan keindahan langit yang tujuh . Sedangkan ayat ini berupa kenikmatan bagi seluruh anak cucu Adam yang diberikan amanat kekhalifaan di muka bumi dan tentunya itu merupakan tugas yang berat untuk dilakukan.

      Dalam ayat ini, menarik untuk kita mentadaburinya karena di dalamnya terdapat ayat yang subtansinya membicarakan tentang kejadian diawal penciptaan manusia ditambah lagi ada sedikit pertanyaan dari malaikat yang terkesan menyudutkan kemampuan manusia melihat pengalaman dari kondisi mahluk sebelumnya yang dianggap gagal dalam menjaga bumi, terlepas dari itu, ini merupakan suatu kabar yang baik dalam sejarah umat manusia mengingat ini merupakan sejarah awal yang tidak akan terjadi untuk yang kedua kalinya. Selain itu ayat ini merupakan bentuk pengagungan kepada Allah SWT dalam membuat pernyataan yang tidak diketahui tujuan penciptaannya kecuali oleh Allah sendiri, dari semua itu akan ada pembelajaran penting yang akan menemukan pada suatu titik  bahwa Allah mempunyai sifat pengetahuan yang tanpa batas.

         Menurut Ar-Razzi: kontek ayat di atas mengandung dua konsep. Pertama, penciptaaan manusia. Kedua, pengagungan akan kebesaran Allah Swt. Dan pendapat lain juga disampaikan oleh Prof.DR. Quraish Shihab.MA. bahwa ayat diatas berbicara tentang penyampaian Allah Swt kepada malaikat menyangkut penciptaan manusia dan tujuan penciptaannya. Yakni menjadi khalifah di dunia, serta pertanyaan (bukan keberatan malaikat) tentang kemampuan manusia mengemban tugas di bumi.
Dalam mengemban tugas ini, tentunya tugas yang dijalankan harus bertujuan atau menyangkut kemaslahatan umat manusia sebagai mana yang tertera dalam surah (QS al-Anbiya’(21)107) وَما أَرْسَلْناكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعالَمِينَ Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam, walaupun kontek ayat ini berbicara tentang nabi Muhammad namun ayat ini bersifat umum dalam kegunaannya. Dalam artian semua manusia di dunia ini bertugas untuk mengemban tugas khalifah yakni memberikan kedamain, keadilan, dan kesejahteraan.

Pengembanan tugas dari Allah untuk manusia masih diragukan oleh malaikat mengingat mereka ahli dalam beribadah, selalu bertasbih dan tidak pernah ada catatan kriminal selama menjadi malaikat[2]. Namun Allah menegaskan dalam firmannya “sesungguhnya aku mengetahui yang tidak kamu ketahui”. Taqdir dialektika ini menjadi bukti betapa maha agungnya Allah atas segalanya, semuanya tidak mungkin Allah ciptakan tanpa alasan, ilmu dan manfaat yang jelas.
Bukan hanya penegasan dengan ayat diatas saja, namun Allah juga menjawab pertanyaan dan kesanggupan malaikat dalam kepantasannya mengemban tugas khalifah di bumi, yaitu dengan pernyataan “sesungguhnya aku mengetahui yang tidak kamu ketahui”. Dengan pembuktikan yang akan dijelaskan ayat selanjutnya.

Pembuktian akan kekhalifahannya Nabi Adam

 وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (31) قَالُوا سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ (32) قَالَ يَا آدَمُ أَنْبِئْهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ فَلَمَّا أَنْبَأَهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ إِنِّي أَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَأَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا كُنْتُمْ تَكْتُمُونَ (33)

Dan dia mengajarkan kepada adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya. Kemudian mengemukakannya pada malaikat lalu berfirman: “sebutkanlah kepada-ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang benar”. Mereka menjawab, “Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sungguh, engkaulah yang maha mengetahui, maha bijaksana.” Dia (Allah) berfirman,”Wahai Adam! Berikanlah kepada mereka nama-nama itu!” Setelah Dia (Adam) menyebutkan nama-namanya, Dia berfirman,”Bukankah telah aku katakan kepadamu, bahwa aku mengetahui rahasia langit dan bumi, dan Aku mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan?”.

Kosa kata: الْأَسْمَاءَ bentuk tunggalnya ism yaitu ciri pengenal sesuatu, sedangkan untuk pengertian  الْأَسْمَاءpada ayat ini adalah Asmaa’ul Musammayaat (nama benda-benda).[3] Sedangkan Ibnu Abbas berkata: Allah mengajarkan kepada Adam segala sesuatu sampai berupa mangkok dan gayung[4]. Ini menunjukkan adanya keistimewaan yang diberikan Allah untuk nabi Adam berupa pengetahuan yang belum diketahui oleh para malaikat.  الْحَكِيمُ artinya tidak melakukan  suatu perbuatan  kecuali dengan bijak atau tidak akan menghukumi sesuatu kecuali dengan bijaksana. Sehingga tidak mungkin Allah menciptakan tanpa adanya pertimbangan yang mendalam.

Munasabah: Ayat-ayat sebelumnya mengingatkan kita fungsi dari adanya penciptaan nabi Adam, dialog malaikat dengan Allah dan menampakkan akan keagungan Allah dalam menatakdirkan alam ini. Sedangkan pada ayat ini Allah lebih mendiskripsikan proses setelah penciptaan nabi Adam yaitu masih tentang perbincangan antara Allah, Malaikat dan  nabi Adam, namun lebih  dijabarkan lagi jawaban yang ditanyakan oleh malaikat. 

Pada intinya, kontek ayat diatas memberikan deskripsi sekaligus kabar penting bahwa penciptaan nabi Adam yang dijadikan khalifah di bumi bukan tanpa dasar apa-apa melainkan diberi bekal pengetahuan yang mendalam guna mengemban tugasnya di bumi. Dan sekaligus memberi bukti kepada malaikat akan rahasia Allah Swt dalam menciptakan nabi Adam atas pertanyaannya yang sempat ditanyakannya. Dan ketika itu pula, Allah menunjukkan ketinggian dan kebesarannya dalam segala hal.

Menurut Quraish Shihab ayat ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan malaikat akan penciptaan nabi Adam yang sedikit menjanggal bagi malaikat. Jawabannya berisikan penampakan potensi-potensi yang dianugerahkannya kepada manusia khususnya potensi tentang pengetahuan.[5] Lalu Allah memberikan kesempatan sekaligus menyindir malaikat untuk menyebutkan apa yang Allah tunjukkan seraya berfirman:” sebutkanlah kepada-ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang benar”. Kata-kata shadiqin merupakan sindiran buat malaikat yang merasa dirinya benar dan lebih pantas. Dan ternyata malaikat pun tidak berkutik disaat Allah memerintahkan untuk menyebutkan nama-nama yang diajarkannya kepada nabi Adam. Malaikat pun hanya bisa berkata:”Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sungguh, engkaulah yang maha mengetahui, maha bijaksana.”

Bentuk perkataan malaikat ini, memberikan gambaran bahwa para malaikat telah menyesal dan tidak akan lagi membantah. Sekaligus sadar bahwa tidak ada suatu yang sia-sia dari segala yang diciptakan oleh Allah. Dan ini suatu kebenaran hakiki bahwa Allah tidak akan berkehendak melakukan apapun itu tanpa adanya pertimbangan dan kebijaksanaan. Allah pasti menciptakan segala sesuatu ada manfaatnya. Khususnya penciptaan manusia ini, yang nota bena akan menjadi khalifah pemakmur dan pensejahtera di muka bumi.

Sombonng dapat mengantarkan kepada kekafiran

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ (34)
Dan (ingatlah) ketika kami berfirman kepada malaikat,”Sujudlah kamu kepada Adam!”. Maka merekapun sujud kecuali iblis. Ia menolak lalu menyombongkan diri, dan Ia termasuk golongan yang kafir.”

Kosa kata: اسْجُدُوا berasal dari akar kata سجد yang punya arti tunduk (خضوع) atau rendah diri.
i’rob: اسْجُدُوا merupakan kalimat fi’il (fi’il amr) yang di mabni atas terbuangnya nun. واو berfungsi sebagai fa’il, sedangkan secara posisi keseluruhan menjadi maf’ul bih.

Munasabah: ada yang terindikasi dalam ayat ini yang mengandung konsep ketuhanan dalam bentuk rububiyah. Yaitu perintah bersujud kepada Adam, perintah ini ada unsur bentuk ketaatan kepada tuhan dalam bentuk ibadah ketika dijalankan oleh malaikat dan jin. Namun kenyataannya, perintah ini dilanggar oleh iblis. Ketidaktaatan iblis untuk bersujud kepada nabi Adam ini membuatnya menjadi kafir.

Tafsir:
Perintah sujudnya (penghormatan) Malaikat kepada Nabi Adam merupakan suatu keistimewaan yang diberikan oleh Allah untuk umat manusia. Sekaligus menguji terhadap malaikat seberapa loyalnya mereka kepada Allah. Dan perintah itu dijalankan oleh malaikat dengan rasa hormat dan patuh, tanpa ada unsur penolakan maupun keterpaksaan walaupun pada saat pertama pengkabaran akan penciptaan Nabi Adam sedikit ada komentar dari mereka.

Menariknya, perintah itu tidak dijalani oleh iblis yang justru menganggap dirinya lebih mulia karena diciptakan dengan api seperti yang tertera dalam Surah Al-A’raf ayat 12. Ini sudah menjadi bukti bahwa penolakan setan merupakan tindakan yang tidak mengindahkan perintah Allah.

Pada saat itulah setan (iblis) dikatakan Istiikbar (menyombongkan diri) yang menerut Muhammad Ali As-Shabuni: sombong dan mengagungkan diri. (Muhammad Ali As-Shabuni, 1997. Hal. 34). Sifat ini yang perlu dihindari oleh para muslimin mengingat ayat tadi yang merupakan cerminan buruk dari iblis. Apalagi menyombongkan diri kepada Allah. Yang pada akhirnya mengantarkan manusia siapa saja menjadi kafir akibat kesombongannya.

Memahami perintah tuhan

وَقُلْنَا يَا آدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلَا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا وَلَا تَقْرَبَا هَذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ (35)
Dan kami berfirman :”Wahai Adam! Tinggallah engkau dan istrimu di dalam surga, Dan makanlah dengan nikmat (berbagai makanan) yang ada disana sesukamu. (tetapi) janganlah kau dekati pohon ini. Nanti kamu termasuk orang-orang yang zalim.

          Kosa kata: اسْكُنْ berasal dari kata سكن yang artinya tinggal di suatu tempat, kalau dilihat di kamus al-Ma’ani artinya anatara lain: menempati, mendiami menjadi tenang, dingin, diam, reda,  sedangkan kata لَا تَقْرَبَا bentuk dari fi’il nahi (larangan) berasal dari kata قرب yang artinya mendekat, hampir, mengira-ngira dan mendekatkan.

          Munasabah: perintah untuk menempati surga merupakan bentuk dari kenikmatan yang diberikan Allah untuk Nabi Adam, namun sayangnya tidak boleh mendekati pohon terlarang biar tidak menjadi dholim. Jadi itulah korelasi ayat yang dilihat dari kata per-kata pada ayat ke 35.

           Tafsir : Allah maha pengasih dan maha penyayang kepada seluruh mahluknya, termasuk kepada Nabi Adam. Salah satunya dengan kasih sayang berupa penempatan di surga beserta istrinya, hawa. Tentunya perintah itu tidak ditolak oleh Nabi Adam, justru mengimaninya selain karena ketaatan Adam kepada Allah dan memang surga adalah tempat yang sangat indah yang tidak bisa dibayangkan oleh manusia.

             Ada alasan tersendiri, mengapa Allah melarang kepada Nabi Adam untuk mendekati pohon itu yang sebagian ulama’ menginterpretasikan dengan pohon huldi. Ini menjadi ujian tersendiri bagi Nabi Adam dalam menjalani kehidupan di Surga, sekaligus menguji kualitas  keimanannya kepada Allah, seberapa besar keimanannya kepada Allah. Apakah sanggup atau tidak. Jika tidak, maka Nabi Adam akan seperti iblis, yaitu mendhalimi diri sendiri mengingat semua perbuatan kita akan dipertanggung jawabkan di Akhrat.

Terjerumusnya Nabi Adam dan pertaubatannya

فَأَزَلَّهُمَا الشَّيْطَانُ عَنْهَا فَأَخْرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا فِيهِ وَقُلْنَا اهْبِطُوا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ وَلَكُمْ فِي الْأَرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ إِلَى حِينٍ (36)  فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ (37)

Lalu setan memperdayakan keduanya dari surga sehingga kedua dikeluarkan dari (segala kenikmatan) ketika keduanya disana (surga). Dan kami berfirman,”Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain. Dan bagi kamu ada tempat tinggal dan kesenangan di bumi sampai waktu yang ditentukan. Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari tuhannya, lalu dia pun menerima tobatnya. Sungguh, Allah maha menerima tobat, maha penyayang.

Kosa kata: فَأَزَلَّهُمَا akar katanya dari kata زلّ yang artinya tergelincir, terpeleset tersandung, keliru. فَتَلَقَّى akar kata dari تلقّى yang artinya menerima. تَابَ menerima taubat atau mengampuni.
Munasabah: ayat ini menjelaskan tentang keberhasilan setan dalam memperdaya, menipu dan menggoda  Nabi Adam hingga dikeluarkan dari surga, sedangkan ayat setelahnya meneruskan kelanjutan yang terjadi pada Nabi Adam, yaitu pertobatan Nabi Adam akan kesalahannya dan itupun diterima oleh Allah.

Tafsir: Rayuan setan tidak akan ada ujungnya. Korbannya adalah Nabi Adam. Godaan setan ini semakin menampakkan keaslian sikapnya yang tidak suka terhadap Nabi Adam padahal Allah menyuruhnya untuk hormat kepadanya.

Keberhasilan setan dalam merayu nabi adam agar mendekati dan memakan buah huldi, membuat Nabi Adam dan istrinya harus keluar dari surga. Sebenarnya Nabi Adam sangat ta’at kepada Allah namun itulah manusia pasti mempunyai salah dan lupa. Ditambah lagi dengan rayuan setan yang sangat menipu. Secara akidah, Nabi Adam sudah jelas meyakini akan adanya Allah begitu juga dalam ibadah kepadanya. Namun Inilah rencana Allah yang perlu diambil hikmahnya bahwa kita harus waspada dari godaan dan tipuan setan dalam setiap waktu agar tetap beriman dan beribadah kepadanya sekaligus menjauhi larangannya.

Pada ayat 37, Nabi Adam diterima taubatnya oleh Allah, ini bukti bahwa Nabi Adam merupakan hamba yang ta’at dan taqwa. Mengakui kesalahannya dan meminta ampun kepada Allah. Inilah bedanya Nabi Adam dengan iblis, Nabi Adam tidak menyombongkan diri apalagi pada saat melakukan kesalahan, justru yang ada Nabi Adam bertaubat dan meningkatkan amal ibadahnya.
Janji Allah pada hambanya

 قُلْنَا اهْبِطُوا مِنْهَا جَمِيعًا فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنْ تَبِعَ هُدَايَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (38) وَالَّذِينَ كَفَرُوا وَكَذَّبُوا بِآيَاتِنَا أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (39)
Kami berfirman,”Turunlah kamu semua dari surga! Kemudia jika benar-benar datang petunjukku  kepadamu, maka barang siapa mengikuti petunjukku, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.”Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat kami, mereka itu penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.

Munasabah: pengusiran yang terjadi pada Nabi Adam, istrinya dan iblis ke dunia, mendapat tantangan dari Allah agar tetap ada di jalan yang lurus, teguh mencari dan mengamalkan petunjuknya, sedangkan ayat selanjutanya juga terkait masalah tantangan agar tetap berada di jalan yang lurus, tidak kafir dan mengingkari ayat-ayatnya.

Tafsir: ada sesuatu yang menarik pada ayat ini, khususnya terkait masalah ketaatan  seorang hamba kepada tuhannya. Yaitu Allah dengan Nabi Adam, istrinya dan iblis. Menariknya terletak pada pengusiran yang berakibat kepada tiga hamba tadi, padahal yang salah Nabi Adam dan istrinya, namun iblis ternyata disuruh keluar juga ( memang sudah melakukan kesalahan yang berupa rayuan kepada Nabi Adam dan Istrinya.

Ketiga hamba tadi, dengan taatnya langsung melakukan perintah tersebut, bedanya setan tidak akan mendapat ampun dari Allah sedangkan Nabi Adam dan istrinya masih punya harapan untuk itu, sehingga Allah memberikan peringatan bahwa siapa saja yang tetap teguh ada di jalannya maka akan selamat namun jika tidak, apalagi kafir dan mengingkari nikmatnya dan ayat-ayatnya maka akan  masuk neraka jahanam.





  [1]Abu ja’far an-Nahhas, I’robul quran, Dar kuttub ‘Alamiyah, Bairut: cet. 1. Hlm. 42.
   [2] kontek ayat ini mengandung kontrofersi. Ini ditimbulkan dari adanya alif istifham di lafad أَتَجْعَلُ yang mengandung banyak pengertian. Ada yang mengartikan sebagai komplenan dari para malaikat terhadap Allah akan penciptaan manusia yang dikhawatirkan akan merusak eksistensi bumi mengingat mahluk sebelumnya merusak bumi dengan dosa-dosa. Namun ada yang berpendapat itu sekedar pertanyaan (bukan keberatan malaikat) dimana pertanyaan itu timbul yang menurut pendapat wahbah zuhaili disebabkan karena sudah adanya pengkabaran dan informasi lain tentang manusia dari Allah sebelumnya.
   [3] Wahbah az-Zuhaili, At-Tafsiirul-Muniir:Fil ‘Aqidah wasy-Syarii’ah wal Manhaj. Terj. Abdul Hayyie al Kattani, dkk. Depok: 2013. Jld 1-2. Cet 1. Hlm. 92. 
  [4]Muhammad Ali As-shabuni, sofwatu-tafasir, Dar as-Shabuni, Kairo, cet 1. Hlm 41.
   [5] Quraish shihab,Al-Lubab, makna, tujuan, dan pelajaran dari surah-surah Alquran.Tangerang:lenntera hati.2012.hlm17.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar