Kamis, 04 Januari 2018

Makalah tentang surah At-Taubah

Pendahuluan
Perang dalam islam merupakan jalan terakhir mengekspansi wilayah kekuasaan. ini semua bukan berarti islam tidak suka damai, melainkan karena kondisi geo-politik pada saat itu mengharuskan berperang, itu pun harus melewati beberapa tahap. Seperti melakukan lobi ke pihak lawan demi terhindarnya pertumpahan darah. Namun biasanya dari lawanlah yang terlalu angkuh dan sombong, mereka kadang yang menabuh gendrang perang terlebih dahulu. Ketika sudah demikian yang terjadi maka al-Qur’an memberikan aturan-aturan kepada umat islam khususnya aturan siapa yang wajib berperang mapun siapa yang mendapat dispensasi untuk tetap di rumah.
Pembahasan pada ayat-ayat at-Taubah ini akan diinterpretasikan dan dibandingkan dengan pendapat ulama’ tafsir, antara lain: Tafsir al-Misbah, safwatu tafasir, dan al-Manar. Pemakalah mengambil dari tafsir-tafsir tersebut atas beberapa pertimbangan antara lain karena tafsir-tafsir tersebut lebih mudah dipahami dan kontemporer. Sehingga dengan alasan ini dapat melihat dan merealisasikan dengan kontek zaman ini.


Pembahasan
رَضُوا بِأَنْ يَكُونُوا مَعَ الْخَوَالِفِ وَطُبِعَ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَهُمْ لَا يَفْقَهُونَ (87) لَكِنِ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ جَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ وَأُولَئِكَ لَهُمُ الْخَيْرَاتُ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (88) أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (89)
Mereka rela berada bersama orang-orang yang tidak pergi berperang, dan hati mereka telah tertutupi, sehingga mereka tidak memahami (kebahagiaan beriman dan berjihad). Tetapi Rasul dan orang-orang beriman bersama dia, (mereka) berjihad dengan harta dan jiwa. Mereka itu memperoleh kebaikan. Mereka itulah orang-orang yang beruntung. Allah telah menyediakan bagi mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang agung.
Kosa kata: رضوا berasal dari kata رضى kalau di kamus al-Ma’ani artinya rela, ridha, dan suka. Sedangkan kata  جَاهَدُوا berasal dari kata جهد. Dalam kamus al-Munawwir yang artinya berusaha dengan sungguh-sungguh atau mencurahkan segala kemampuan. Kata أَعَدَّ merupakan fi’il madhi. Dalam kamus al-Ma’ani artinya menyediakan atau menyiapkan.
Munasabah: hubungan per-ayat dari ketiga ayat ini masih dalam pembahasan tentang tanggapan atau respon orang-orang yang beriman dan orang-orang munafik terkait ajakan atau seruan untuk berperang. Pertama ayat 87 membahas sikap orang-orang munafik menolak untuk ikut berperang. Ayat yang ke 88 respon positif yang dimiliki oleh orang-orang beriman untuk ikut berperang. Sedangkan ayat 89 pahala bagi yang ikut berperang bersama Nabi Muhammad Saw.  
Tafsir: pada saat itu, Allah memerintahkan agar supaya beriman kepada-Nya dan berjihad bersama Nabi Muhammad Saw. Namun yang terjadi mereka malah merelakan dirinya bersama orang-orang yang tidak pergi berperang tetap tinggal di rumah, menurut al-Qurthubi: الْخَوَالِفِ (orang-orang yang tidak pergi berperang) jama’ dari خَالِفَةٍ yang dimaksud adalah istri-istri, anak-anak dan laki-laki yang sedang uzur (al-Qurthubi, 1964, jilid. 8. hlm. 223). Padahal orang-orang munafik pada saat itu secara fisik dan tenaga mampu untuk pergi berperang, itu semua menandakan bahwa Hati mereka telah tertutup sehingga sulit merasakan dan peka terhadap nilai-nilai kebaikan, seperti beriman dan berperang dijalan Allah. Ahmad bin Mustafa al-Marghi menambahkan dalam kitabnya; tertutupnya hati orang mereka lantaran adanya sifat-sifat munafik yang melekat dalam dirinya.[1]
Berbeda halnya Rasul dan orang-orang mukmin yang menjalankan perintah Allah, mereka berperang Tanpa ada rasa ragu dan bimbang, yang ada justru keberanian dan keyakinan yang tumbuh dalam diri mereka semua. Sikap inilah yang seharusnya ditanamkan kepada kita saat ini, yaitu keberanian dalam kebenaran. Walaupun ada kemungkinan dalam penerapan saat ini tidak harus selalu berjihad (perang) untuk menegakkan kebenaran. Oleh karenanya, diharapkan dengan sikap ini yang nantinya oleh Allah dibalas dengan hal yang lebih baik, sehingga Mereka itulah orang-orang yang beruntung. Beruntung di dunia maupun di akhirat. Menurut Rasyid Ridha; orang-orang yang beruntung ini adalah orang-orang yang baik berdaulat dan mensupremasi di dunia, serta orang yang bahagia di akhirat dan ini tidak akan di rasakan oleh orang-orang munafikin yang disebabkan kemunafikannya dalam beragama.[2] Disinilah pentingnya orang yang beriman kepada Allah, mengikuti apa yang diperintahkanya dan tidak menjadi insan yang munafik dalam beragama, seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. Dan sahabat-sahabatnya. Karena Allah telah menyediakan bagi mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang agung; Kemenangan hakiki yang harus diperjuangkan.

 وَجَاءَ الْمُعَذِّرُونَ مِنَ الْأَعْرَابِ لِيُؤْذَنَ لَهُمْ وَقَعَدَ الَّذِينَ كَذَبُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ سَيُصِيبُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (90)
Dan di antara orang-orang Arab Badui datang (kepada Nabi) mengemukakan alasan, agar diberi izin (untuk tidak pergi berperang), sedangkan orang-orang yang mendustakan Allah dan Rasul-Nya, duduk berdiam. Kelak orang-orang kafir di antara meraka akan ditimpa azab yang pedih.
Kosa kata: Awalan kata الْمُعَذِّرُونَ masih ada kontroversi, menurut al-A’raj dan ad-Dhahak kata الْمُعَذِّرُونَ berawalan dari kata اعذر (al-Qurthubi, 1964. Juz. 8. Hal. 224). Namun sebagian ulama’ berpendapat itu dari kata اعتذر huruf  تاءdi idghamkan ke ذال dan harakatnya dipindah ke عين (Muhyiddin bin Ahmad Musthafa, 1415. Jild 4. Hal. 150).
Munasabah; korelasi dari ayat sebelumnya ialah terkait masalah sikap orang islam dan orang yang mendustakan agama Allah. Selain itu, ayat sebelumnya menjelaskan tentang balasan orang yang mengikuti seruan Nabi Muhammad Saw. Yaitu masuk surga. Sedangkan ayat ini menjelaskan balasan bagi orang yang mendustakan agama Allah dan Rasul-Nya, yaitu mendapatkan azab yang pedih.
Tafsir: ayat ini menjelaskan tentang perang tabuk. Pada saat itu orang-orang munafik dari Arab Badui (yang imannya masih diragukan)  minta izin kepada nabi agar mendapatkan izin dari beliau untuk tidak ikut serta berperang. Al-Qur’an menyebut mereka dengan Kata-kata “mu’adzdzirun” yang berarti orang-orang yang mempunyai alasan yang tidak pantas dijadikan alasan (alasan yang tidak rasional) yang ditujukan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan kebiasaan Beliau adalah memberi izin mereka yang mengemukakan alasan. Ada juga  golongan yang lain dari kalangan kaum munafik Arab baduwi. Mereka duduk-duduk saja tanpa berkomentar dan sama sekali tidak mengemukakan ‘uzur.[3]
 لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَاءِ وَلَا عَلَى الْمَرْضَى وَلَا عَلَى الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ إِذَا نَصَحُوا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ مَا عَلَى الْمُحْسِنِينَ مِنْ سَبِيلٍ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (91) وَلَا عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لَا أَجِدُ مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ تَوَلَّوْا وَأَعْيُنُهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ حَزَنًا أَلَّا يَجِدُوا مَا يُنْفِقُونَ (92)
Tidak ada dosa (karena tidak pergi berperang) atas orang-orang yang lemah, orang yang sakit dan orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka infakkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada alasan apapun untuk meyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha pengampun, Maha penyayang. Dan tidak ada (pula dosa) atas orang-orang yang datang kepadamu (Muhammad), agar engkau memberi kendaraan kepada mereka, lalu engkau berkata,”Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu,” lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena sedih, disebabkan mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka infakkan (untuk berperang).
Munasabah: ayat sebelumnya menjelaskan tentang orang yang beruzur, sedangkan pada ayat ini menjelaskan tentang boleh beruzur dengan catatan alasan yang jelas. Alasannya harus tepat yaitu karena lanjut usia (lemah), orang yang sakit-sakitan dan orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka infakkan.
Tafsir: menurut Muhammad Ali as-Sabbuni: tidak ada kewajiban berperang bagi orang yang sudah lanjut usia, orang sakit yang membuatnya tidak mampu untuk berperang disebabkan lemahnya fisik orang tersebut, dan juga tidak ada dosa bagi orang fakir yang tidak punya sesuatu apa pun yang akan diinfakkan dalam berjihad (Muhammad Ali as-Sabuni, 1997. Hal. 516). Tapi, selama peperangan berlangsung mereka yang uzur harus tetap beriman dan beramal saleh dengan ikhlas dan tidak melakukan penghasutan, menfitnah dan berbuat jahat. Tidak ada alasan menghalangi seseorang untuk berbuat baik, bagi mereka yang tidak ikut berperang. Dan Allah pun Maha Pengampun atas setiap hambanya yang bersalah, lagi Maha Penyayang bagi hambanya yang benar-benar uzur.[4]
Selain karena tua dan sakit, orang fakir juga diperkenankan untuk tidak ikut serta berjihad orang fakir ini ialah orang yang tidak punya sama sekali perbekalan untuk berjihad. Mereka mendapat izin dari Rasulallah, yaitu ketika mereka datang secara tulus lalu meminta perbekalan untuk digunakan berjihad, Nabi pun menjawab dengan lembut bahwa beliau tidak ada suatu kendaraan dan perbekalan yang bisa dibagikan kepada mereka. Dengan kondisi seperti itu, mereka menangis karena tidak bisa ikut serta dalam berjihad.
Mereka yang menghadap Rasulallah lalu menangis ada tujuh orang. Mereka mendapat gelar al-Bakkaun (orang-orang yang menangis). Namun pada akhirnya ketujuh orang ini berjihad juga lantaran mendapat biaya dari sahabat-sahabat nabi yang kaya seperti Utsman Ibnu Affan ra. Paman Nabi; al-Abbas ra. Dan Yamin Ibnu ‘Amr an-Nadhry.[5]

إِنَّمَا السَّبِيلُ عَلَى الَّذِينَ يَسْتَأْذِنُونَكَ وَهُمْ أَغْنِيَاءُ رَضُوا بِأَنْ يَكُونُوا مَعَ الْخَوَالِفِ وَطَبَعَ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ (93)

Sesunggunya alasan (untuk menyalahkan) hanyalah terhadap orang-orang yang meminta izin kepadanya (untuk tidak ikut berperang), padahal mereka orang kaya. Mereka rela berada bersama orang-orang yang tidak ikut berperang Dan Allah telah mengunci hati mereka, sehingga mereka tidak mengetahui (akibat perbuatan mereka).
Tafsir: ayat ini memberikan penegasan kepada siapa yang pantas untuk dicela atau diberi peringatan. Yaitu orang-orang yang secara finansial dan fisik mereka mampu untuk berperang tapi malah tetap rela berada bersama wanita-wanita dan orang-orang yang mendapatkan uzur seperti anak-anak dan kaum jompo. Orang-orang yang seperti itu yang akan dikunci hatinya sehingga mereka merasa tidak bersalah dan tidak merasa berdosa.
Menurut Quraish Shihab; pada ayat ini Allah tidak menyembunyikan siapa yang mengunci hati mereka. Allah telah menyebutkan dalam ayat ini berupa وَطَبَعَ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ  bukan seperti ayat ke-87 yakni وَطُبِعَ عَلَى قُلُوبِهِمْ  artinya ada indikasi penguncian yang benar-benar tidak main-main dan Allah pada ayat ini benar-benar murka atas sikap mereka (Quraish Shihab, 2009. Hal. 205).
Menjadi pelajaran penting bagi kita agar tidak main-main dalam beragama. Jangan sampai terlalu enteng hingga benar-benar lalai. Karena bisa jadi yang awalnya mereka sendiri yang mengunci hatinya dengan melanggar apa yang disyari’atkan oleh Allah. Lalu Allah murka dan Allah benar-benar mengunci hati mereka.
Kesimpulan
Al-Qur’an mempunyai spirit untuk memberikan solusi kepada manusia. Kesulitan-kesulitan yang terjadi akan diberikan solusi terbaik. Termasuk bagaimana menyikapi masalah ekspansi wilayah yang sulit diatasi yang pada akhirnya berujung kepada jihad atau masalah-masalah jiwa manusia yang masih sulit dan ragu akan pentingnya berjihad itu sendiri.
Al-Qur’an dengan jelas pada ayat-ayat sebelumnya bahwa berjihad akan menjadi solusi terakhir disaat proses ekspansi mengalami kesukaran dan mendapat ancaman jiwa. Dan pada ayat ini, al-Qur’an mengancam orang-orang yang tidak ikut berperang atau berjihad dengan alasan yang tidak bertanggungjawab. Apalagi bagi orang-orang kaya yang sudah jelas mampu secara materi dan fisik, maka Allah sangat murka dengan orang-orang kaya seperti itu.
Daftar pustaka

Ahmad bin Mustafa al-Marghi. Tafsir al-Maraghi . (mesir: 1946) cet.1. jild.10.hal. 177.

Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, mesir; 1990. Jilid 10. Hal. 503.

Quraish Shihab Muhammad , TAFSIR AL-MISBAH, (Jakarta: Lentera Hati. 2009). Hal. 203.
Tafsir Al-Qur’an  Al-Karim”. (online). (http://www.tafsir.web.id/2013/03/tafsir-at-taubah-ayat-75-89.html/ diakses pada 05 november 2017).




[1] Ahmad bin Mustafa al-Marghi. Tafsir al-Maraghi . (mesir: 1946) cet.1. jild.10.hal. 177.
[2] Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, mesir; 1990. Jilid 10. Hal. 503.
[3] “Tafsir Al-Qur’an  Al-Karim”. (online). (http://www.tafsir.web.id/2013/03/tafsir-at-taubah-ayat-75-89.html/ diakses pada 05 november 2017).
[4]Quraish Shihab, TAFSIR AL-MISBAH, (Jakarta: Lentera Hati. 2009). Hal. 203.
[5] Quraish Shihab, TAFSIR AL-MISBAH. Hal. 204.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar