Kamis, 04 Januari 2018

Makalah studi naskah tafsir 



PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Dewasa ini, carut marut kehidupan sudah tidak baik lagi. Banyak di sekitar kita adanya dekadensi moral, korupsi meraja lela dan konflik sosial lainnya  yang masih terjadi di dalam masyarakat. Seharusnya ini menjadi perhatian bagi kita semua baik dari pihak pemerintah maupun dari individu masing-masing.
Kita harus menyadari bahwa konsekuensi perbuatan buruk manusia akan berpengaruh keberlangsungan hidup manusia. Sebelum ini terjadi, maka perlu kita berusaha untuk mengkaji penyebab korelasi perbuatan buruk manusia dengan perubahan sosial dalam masyarakat.
Untuk menjawab semua ini, ternyata Alquran sudah membahasnya terkait hubungan perbuatan buruk manusia dengan kerusakan moralitas masyarakat.
Oleh karena itu, makalah ini akan membahas bagaimana Alquran berbicara tentang perubahan yang ada dalam masyarkat. Pada makalah ini, kami mengutip dari tafsir al-Maraghi, karena di sana memberikan penjelasan yang sederhana yang mudah dipahami dan cukup kontekstual.

Rumusan Masalah
1.      Konsep perubahan masyarakat dalam Surat al-Anfal ayat 53
2.      Konsep perubahan masyarakat dalam Surah ar-Ra’d ayat 11

Tujuan Masalah
            Makalah ini dibuat untuk memberikan pemahaman mendasar dari penyebab adanya perubahan masyarakat menurut konteks Alquran.






PEMBAHASAN
1.      Konsep perubahan masyarakat dalam Surat al-Anfal ayat 53
            Setiap kehidupan masyarakat akan mengalami perubahan, baik itu perubahan menuju hal positif maupun menuju kepada hal yang bersinggungan dengan unsur-unsur negatif. Di sinilah Alquran membahas perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Yaitu pada ayat beriku:
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَأَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (53)
“Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu nikmat yang telah diberikan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Anfal: 53).
Ayat-ayat sebelumnya menceritakan tentang sikap buruk orang munafik dan orang kafir, kemudian pada ayat 50-51 menerangkan orang-orang kafir atau secara khusus pasukan musyrik yang tewas dalam perang badar, bagaimana ketika para malaikat mematikan meraka disebabkan perbuatan mereka sendiri. Kemudian ayat 52 Allah menyerupakan orang-orang kafir atau musyrikin mekah dengan pengikut-pengikut Fir’aun. Bahkan serupa dengan kaum-kaum sebelumnya. Kaum Nuh, Hud, Soleh dan Luth. Mereka mendustakan Ayat-ayat Allah baik keesaan-Nya maupun mendustakan Rasul-Nya. Mereka diazab karena dosa-dosa dan juga perilaku mereka. Kemudian apa yang dialami oleh orang-orang kafir itu penyebabnya dijelaskan oleh ayat ini.
Ayat ini mengingatkan bahwa Allah telah menyiksa kaum Quraisy karena kekufurannya terhadap nikmat-nikmat yang telah dilimpahkan kepada mereka. Yaitu, ketika Allah mengutus kepada meraka seorang Rasul di antara mereka sendiri, namun meraka mendustakaan, mengusir bahkan mereka perangi. Hal ini, sebagaimana Allah telah nenyiksa umat-umat sebelum mereka karena dosanya. Demikian telah berlaku sunnah Allah, yakni Dia tidak akan mengubah nikmat yang telah dilimpahkan-Nya kepada suatu kaum, sehingga kaum itu mengubah sendiri keadaan yang menjadikan dia berhak memperoleh nikmat itu.
Ayat ini mengisyaratkan, bahawa nikmat-nikmat yang telah Allah limpahkan kepada kelompok atau individu sejak pertama dan untuk selamanya tergantung pada akhlak, sifat dan berbagai perbuatan yang dituntut oleh nikmat itu. Maka, selama perkara-perkara ini tetap dan bersarang pada diri mereka, maka nikmat-nikmat itu pun akan senantiasa tetap pada mereka. Allah tidak akan mencabutnya dari mereka, sedangkan mereka tidak melakukan suatu kezaliman atau dosa sedikit pun. Namun, apabila mereka mengubah sendiri akidah, akhlak dan perbuatan baik yang seharusnya mereka lakukan, maka Allah tentu akan mengubah bahkan mencabut nikmat yang telah diberikan-Nya kepada mereka. Sehingga orang yang kaya akan menjadi miskin, orang mulia menjadi hina, dan orang kuat menjadi lemah.
Kebahagiaan, kekuatan dan kemenangan umat tidak tergantung pada lapangnya kekayaan dan banyaknya jumlah bala tentara, sebagaimana prasangka sebagian orang musyrikin yang diceritakan oleh Allah dengan firman-Nya.
Dan mereka berkata, ‘Kami lebih banyak mempunyai harta dan anak-anak (daripada kalian) dan kami sekali-kali tidak akan diazab.”
Demikian pula Allah tidak akan menganakemaskan sebagian bangsa dan umat karena keturunan dan kelebihan sebagian nenek-moyangnya atas yang lain, dengan kenabian atau yang lebih rendah dari itu. Sehingga Allah memberi mereka kerajaan dan kepemimpinan, karena para Nabi mereka menjadi nenek-moyang mereka. Seperti keadaan Bani Israil yang tertipu oleh ketergantungan mereka kepada nenek moyangnya, dan melebihkan dirinya atas seluruh bangsa karena keturunannya itu. Demikian halnya dengan kaum Nasrani dan Muslim sesudah itu. Mereka mengikuti tradisi kaum yahudi dan tertipu oleh agamanya, meski mereka sendiri kaum yang paling menentangnya.
Kemudian ayat ini ditutup dengan asma al-husna yaitu Allah Maha Mendengar dan Maha mengetahui, yakni Allah Ta`ala Maha Mendengar apa yang dikatakan oleh pendusta-pendusta para Rasul. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat dan apa yang mereka tinggalkan. Dia memberikan balasan kepada mereka atas apa yang mereka katakan dan perbuat; apabila baik maka dia akan mendapatkan kebaikan, apabila buruk maka mereka mendapatkan keburukan.
Ayat ini serupa dengan firman-Nya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang terdapat pada satu kaum/masyarakat sampai mereka mengubah apa yang terdapat dalam diri mereka” (QS. ar-Ra‘d: 11). Kedua ayat tersebut—ayat ini dan ayat ar-Ra‘d—itu berbicara tentang perubahan, tetapi ayat pertama berbicara tentang perubahan nikmat, sedang ayat ar-Ra‘d menggunakan kata (i i) mâ/apa sehingga mencakup perubahan apa pun, yakni baik dari nikmat/positif menuju nikmat/murka Ilahi/negatif maupun dari negatif ke positif.


2.      Konsep perubahan masyarakat dalam Surah ar-Ra’d ayat 11
Selain pada Surat al-Anfal ayat 53 ada juga Surah ar-Ra’d yang membahas tentang konsep perubahan masyarakat. Untuk lebih jelasnya akan dibahas di bawah ini:
اللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَحْمِلُ كُلُّ أُنْثَى وَمَا تَغِيضُ الْأَرْحَامُ وَمَا تَزْدَادُ وَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِمِقْدَارٍ (8) عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ الْكَبِيرُ الْمُتَعَالِ (9) سَوَاءٌ مِنْكُمْ مَنْ أَسَرَّ الْقَوْلَ وَمَنْ جَهَرَ بِهِ وَمَنْ هُوَ مُسْتَخْفٍ بِاللَّيْلِ وَسَارِبٌ بِالنَّهَارِ (10) لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ (11)
Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan, dan apa yang berkurang di dalam rahim dan yang bertambah. Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukuran(nya). (Allah) Yang mengetahui semua yang gaib dan yang tampak; Yang Maha besar lagi Maha tinggi.” “Sama saja siapa di antara kamu yang merahasiakan ucapan, dan siapa yangberterus-terang dengannya, dan siapa yang bersembunyi di malam hari dan yang berjalan di siang hari. Ada baginya pengikuti-pengikut yang bergiliran, di hadapannya dan di belakangnya; mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya, dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”

Allah Swt. telah menerangkan keingkaran kaum musyrikin yang tidak percaya hari pembangkitan di ayat-ayat sebelumnya. Seperti pada ayat: “Apabila kami telah menjadi tanah, apakah kami sungguh akan (dikembalikan) menjadi mahluk yang baru?” (Ar-Ra’d,:5). Perkataan yang seperti itu, karena mereka menganggap bahwa bagian-bagian tubuh hewan yang sudah mati akan bercerai berai, berserakan bahkan sudah dimakan oleh hewan buas, atau mungin bagian yang lainnya sudah dibawa terbang oleh elang atau garuda yang dimakan di tempat yang jauh.
Menyikapi keingkaran yang dilakukan oleh orang musyrikin ini, Allah merespon semua itu dengan penjelasan  ayat-ayat di atas. Bahwa Allah itu maha kuasa dan maha mengetahui atas segala sesuatu yang ada di bumi, janin dan kondisinya yang ada di dalam rahim ibunya. Apa yang menurut pandangan kita tidak tampak namun bagi Allah semuanya tidak ada yang samar.



Penjelasan singkat:
اللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَحْمِلُ كُلُّ أُنْثَى pada ayat ini Allah menyatakan bahwa Allah itu mengetahui kondisi janin yang ada dalam rahim wanita. Entah janin itu laki-laki atau berjenis perempuan. Sebagaimana dalam Surah Lukman ayat 34 “Dan dia mengetahui apa yang ada di dalam rahim”. Allah pun mengetahui seberapa lama manusia berkembang dan hidup di dalam rahim. Sebagaimana pada ayat “ Dan dia mengetahui apa yang kurang dan lebih (bertambah) pada rahim”. Baik yang kurang itu dari jumlah anak yang biasanya ada yang satu bahkan lahir tiga anak sekaligus, maupun kurang dari segi fisik yang kadang terlahir tidak sempurna. Begitu juga Allah mengetahui kejadian yang lebih (bertambah) di dalam rahim. Baik itu lebih (bertambah) dari segi lamanya bayi yang ada dalam rahim yang kadang ada yang hanya tujuh bulan atau sampai sepuluh bulan.  Maupun lebih (dari pada yang lain) yaitu bagus dari segi fisik (ganteng dan cantik, imut dan lucu ). Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukuran(nya). Allah tidak sembarangan dalam menciptakan itu semua.
عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ ayat ini memberikan pemahaman bahwa semua yang ghaib hanya Allah yang maha mengetahui. Allah mengetahui terhadap apa yang tidak bisa dilihat oleh manusia dengan mata telanjang seperti melihat janin yang ada di dalam rahim atau bekteri-bakteri yang sangat kecil. Kecuali manusia menggunakan alat untuk melihatnya. Tapi semua itu tetaplah ada batasan dan kelemahannya tidak dengan keagungan Allah yang tanpa batasan karena Allah itu “Yang Maha besar lagi Maha tinggi”
سَوَاءٌ مِنْكُمْ مَنْ أَسَرَّ الْقَوْلَ وَمَنْ جَهَرَ بِهِ secara tidak langsung ayat ini menjadi potret keagungan Allah bahwa tidak ada yang samar dan rahasia di sisinya. Seseorang yang merahasiakan ucapannya  tidak ada rahasia lagi di sisi Allah. Seseorang yang bersembunyi di malam hari tidak lagi ada rahasia di sisi Allah.
لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ terdapat indikasi pada ayat ini bahwa manusia itu diapit oleh empat malaikat pada siang hari dan empat malaikat pada malam harinya secara bergantian. Dua malaikatnya sebagai penjaga dan dua malaikatnya lagi pencatat amal. Andai saja manusia menyadari itu semua tentu manusia tidak akan melakuka hal-hal yang dilarang.

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka.”
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang ada pada suatu kaum, berupa nikmat dan kesehatan, lalu mencabutnya dari mereka. Sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri, seperti kezaliman sebagian mereka terhadap sebagian yang lain, dan kejahatan yang menggerogoti tatanan masyarakat serta menghancurkan umat seperti bibit penyakit menghancurkan individu.
Ayat tersebut juga menekankan bahwa perubahan yang dilakukan oleh Allah haruslah didahului oleh perubahan yang dilakukan oleh masyarakat menyangkut sisi dalam mereka. Tanpa perubahan ini, mustahil akan terjadi perubahan sosial. Karena itu, boleh saja terjadi perubahan penguasa atau bahkan sistem, tetapi jika sisi dalam masyarakat tidak berubah, keadaan akan tetap bertahan sebagaimana sediakala. Jika demikian, sekali lagi perlu ditegaskan bahwa dalam pandangan Alquran yang paling pokok guna keberhasilan perubahan sosial adalah perubahan sisi dalam manusia karena sisi dalam manusialah yang melahirkan aktivitas, baik positif maupun negatif, dan bentuk, sifat, serta corak aktivitas itulah yang mewarnai keadaan masyarakat apakah positif atau negatif.
Abu Bakar meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
“Sesungguhnya jika manusia melihat orang yang melakukan kezaliman, kemudian mereka tidak menindaknya, maka hampir Allah SWT meluaskan siksaan kepada mereka semua.”
            Kebenaran hadis ini dikuatkan oleh firman Allah SWT yang artinya:
“Dan peliharalah diri kalian dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kalian.” (QS. Al-Anfal: 25).
            Pembicaraan ini telah dijabarkan di banyak tempat oleh Musthafa al-Maraghi. seorang ahli sejarah besar yaitu Ibnu Khaldun mengisyaratkan kebenaran ini di dalam Muqaddimah, bahkan menulis bab khusus dengan judul “Kezaliman adalah pertanda  rusaknya kemakmuran”. Dengan metodenya sendiri dia berbicara panjang lebar tentang kebenaran ini, membuat berbagai perumpamaan dengan peristiwa yang banyak terjadi pada umat sebelum dan sesudah Islam. Dia menjelaskan, bahwa kezaliman telah merobohkan singgasana, menghinakan umat, dan menjadikan mereka santapan bagi para penjajah serta contoh bagi umat lain.
            Melihat keadaan umat Islam dewasa ini, daerah-daerah mereka dikuasai oleh bangsa barat, bahkan mereka sendiri dihinakan dan dijajah, suatu keadaan yang berbeda dengan sebelumnya di sini, terdapat pelajaran bagi orang yang mau merenungkan dan mendengarkan kebenaran ini. Alquran menjadi saksi atas kebenaran pandangan tersebut: “Bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang saleh.” (QS. Al-Anbiya’: 105).
Hamba-hamba yang saleh di sini ialah mereka yang patut untuk memakmurkan dan memanfaatkan segala kebaikannya, baik yang tampak maupun yang tidak tampak.
وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ
“Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya.”
            Apabila Allah menghendaki suatu keburukan bagi suatu kaum seperti penyakit, kemiskinan, dan musibah lain yang disebabkan oleh ulah mereka sendiri, maka tidak seorang pun yang dapat menolak apa yang telah ditakdirkan Allah bagi mereka.
            Di sini terdapat isyarat bahwa tidak patut meminta agar keburukan segera didatangkan sebelum kebaikan , atau siksaan sebelum pahala. Sebab jika Allah telah menghendaki dan menimpakan kepada mereka, maka tidak seorang pun yang dapat menolaknya. Kesimpulannya adalah, sangat tidak bijaksana untuk meminta agar perkara tersebut segera didatangkan.
وَمَالَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ
Dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”
            Mereka tidak mempunyai selain Allah seseorang yang dapat menolong mereka, sehingga mendatangkan manfaat dan menolak kemudaratan dari mereka. Tuhan-tuhan yang merekaa jadikan tidak dapat melakukan sedikit pun dari semua itu, tidak pula dapat menolak bahaya dari diri sendiri, lebih-lebih menolaknya dari yang lain.
            Betapa indah kata-kata mutiara seorang Arab Badui yang melihat berhala dikencingi musang, sehingga dia naik lalu memegang dan memecahkannya berkeping-keping: Apakah dinamakan tuhan, jika kepalanya dikencingi dua ekor musang, padahal telah menjadi hina siapa yang dikencingi musang

Hal ini diisyaratkan oleh firman Allah yang artinya:
“Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan lalat pun, walaupun mereka bersatu untuknya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka tiadalah mereka dapat merebutnya kembali darinya.”

KESIMPULAN
Konsep perubahan masyarakat ternyata dikarenakan kezaliman dari adanya perilaku manusia itu sendiri. Pada prinsipnya, Allah menciptakan manusia itu sangatlah adil. Allah sudah membekalkan manusia dengan begitu banyaknya nikmat yang telah diberikan-Nya. Entah itu nikmat iman, sehat atau pun harta. Namun seluruh nikmat itu berubah seketika diakibatkan oleh sikap buruk yang dilakukan manusia. Andai kata manusia menjaga sikapnya di dunia dengan berperilaku baik niscaya alam ini akan berdampak baik pula kepada penghuninya. 















Tidak ada komentar:

Posting Komentar