Sabtu, 18 November 2017

Tafsir Tahlili Surah Ali Imran dari ayat 159-164

Tafsir Tahlili Surah Ali Imran dari ayat 159-164
Oleh: Sofyan Solehuddin

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (159) إِنْ يَنْصُرْكُمُ اللَّهُ فَلَا غَالِبَ لَكُمْ وَإِنْ يَخْذُلْكُمْ فَمَنْ ذَا الَّذِي يَنْصُرُكُمْ مِنْ بَعْدِهِ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ (160) وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَغُلَّ وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ (161) أَفَمَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَ اللَّهِ كَمَنْ بَاءَ بِسَخَطٍ مِنَ اللَّهِ وَمَأْوَاهُ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ (162) هُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ اللَّهِ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِمَا يَعْمَلُونَ (163) لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ (164

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal.Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya. Apakah orang yang mengikuti keridhaan Allah sama dengan orang yang kembali membawa kemurkaan (yang besar) dari Allah dan tempatnya adalah Jahannam? Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali”. (Kedudukan) mereka itu bertingkat-tingkat di sisi Allah, dan Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan. Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.



Pembahasan


فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (159)
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.
Mufrodat; فَظًّا artinya  جافيا  yaitu bengis atau kejam dalam perkataan maupun perbuatan. Sedangkan غَلِيظَ (keras) antonim dari kata رقة (lembut).
Munasabah; ayat-ayat sebelumnya menjelasakan tentang kekalahan orang islam di perang Uhud, dimana pada saat itu, sebagian dari orang islam mulai goyah akan kepercayaannya, lalu dilanjutlah ayat ke 159 ini yang isinya menjelaskan tentang cara Nabi Muhammad merangkul depresi jiwa dan keputusasaan orang islam pada saat itu, yaitu dengan memaafkan mereka dan menasehati mereka dengan tutur kata yang baik dan lemah lembut.  
Tafsir; Perang Uhud adalah perang yang menjadi sejarah tidak terlupakan bagi orang islam karena pada saat itu kekalahan sedang menimpa orang islam. Banyak para penghafal al-Qur’an yang meninggal dan yang lebih sedihnya lagi Nabi Muhammad mengalami luka-luka. Itu semua karena keteledoran para Sahabat yang tidak mengikuti instruksi dari Nabi. Namun Allah tidak akan lupa pada orang islam,  maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Nabi Muhammad berlaku lemah lembut terhadap mereka. Karena dengan lemah lembut itu keluar dari hati dan akan mudah diterima oleh hati pula apalagi dengan didasari dengan keikhlasan yang tinggi. Berbeda jika penyampaian yang dilakukan oleh Nabi dengan kasar dan angkuh maka pasti para Sahabat akan merasa tersinggung.
Menariknya pada ayat ini, Allah memerintahkan Nabi agar supaya memaafkan meraka yang membangkang dan memintakan maaf kepada Allah. Untungnya beliau dapat Rahmat yang besar dari Allah berupa hati yang sangat baik sehingga tidak susah bagi Nabi untuk melakukannya, Walaupun beliau sempat dikecewakan oleh sebagian sahabat yang turun dari gunung untuk mengambil harta rampasan. Yang tidak kalah penting adalah musyawarah yang tetap dianjurkan oleh Allah pada Nabi dengan sahabat-sahabat yang sempat mengecewakannya tentang urusan peperangan. Apalagi bermusyawarah dengan sahabat-sahabat yang patuh dengannya. Apapun hasil musyawarah yang disepakati harus tetap bertawakkallah kepada Allah akan setiap sesuatu yang akan terjadi. Dan inilah sejatinya orang beriman karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.

 إِنْ يَنْصُرْكُمُ اللَّهُ فَلَا غَالِبَ لَكُمْ وَإِنْ يَخْذُلْكُمْ فَمَنْ ذَا الَّذِي يَنْصُرُكُمْ مِنْ بَعْدِهِ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ (160)
“Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal”.
Ilmu Qira’at; Semua imam tujuh membaca sukun dihuruf Ra’ pada kata إِنْ يَنْصُرْكُمُ, sedangkan pada فَمَنْ ذَا الَّذِي يَنْصُرُكُمْ huruf Ra’ oleh as-Susi dibaca sukun. Ad-Duri Abu Amr membaca dengan sukun dan dhammah secara ikhtilas (Muhsin Salim, 2008. Hlm. 167).
Tafsir; Tawakal kepada Allah harus tetap dijaga dan menjadi komitmen dalam lubuk hati orang islam. Karena semua manusia tidak akan tahu sesuatu yang akan terjadi dikemudian hari, khususnya bagi orang yang berperang entah akan menang atau akan kalah. Soalnya Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu. Sehebat apapun strategi musuh kala itu. Begitupun jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu?. Dan itu terbukti orang islam pada perang Uhud mengalami kekalahan. Walau kekalahan itu tetap mendapatkan pahala sahid. Amin.
Selama manusia hidup maka tidak ada yang tahu masa yang akan datang kecuali diberi tahu oleh Allah.  Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal. Atas segala hal. Tidak boleh sekali-kali hati kita diisi oleh selain Allah. Jika itu masih terjadi maka iman seseorang perlu dipertanyakan.
Kata وَعَلَى اللَّهِ didahulukan dari fi’ilnya mengandung sebuah penekanan bahwa orang-orang mukmin itu wajib bertawakkal segala urusannya kepada Allah. Kalau kita menghayati arti dari mukmin adalah rasa aman, pasrah dan yakinnya seorang hamba kepada tuhannya. Oleh karenanya, mustahil seorang yang sudah mukmin masih bergantung dan merasa aman kepada selain Allah. Dan perlu diketahui bahwa ayat ini memberikan penegasan kepada kita agar meyakini bahwa janji Allah itu pasti. Allah tidak mungkin mengingkari janji-Nya.
Maqasid: orang beriman harus yakin dan bertawakal akan pertolongan Allah.

 وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَغُلَّ وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ (161)
“Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya”.
Mufrodat; الغلّ mengambil sesuatu yang samar.
Ilmu Qira’at; أَنْ يَغُلَّ Ibnu Katsir, Abu Amr dan Ashim membaca huruf Ya’ dengan baris atas dan huruf Ghain dengan garis dhammah. Sedangkan pada kata يُظْلَمُونَ Warsy membaca huruf lam dengan taghlizh sedangkan al-Baqun dengan tarqiq.
Munasabah; Ayat ini menceritakan kemulyaan sifat Nabi yang terjaga dan jauh dari sifat khianat (harta rampasan), sedangkan ayat sebelumnya mempunyai kesamaan dengan ayat ini, yaitu kemulyaan sifat Nabi yang lembut, pema’af dan masih menerima mereka untuk tetap diajak musyawarah dan  dirangkul lagi.
Tafsir; Tidaklah benar dan tidak masuk akal seorang Nabi dan Rasul akan mengkhianati, curang atau korupsi masalah harta rampasan perang. Jika mereka berkhianat maka tidak mungkin akan diangkat menjadi Rasul atau Nabi. Untuk mempertegas akan kebenaran dan kebaikan seorang Nabi maka perlu kirannya mengetahui penggunaan kata Nabi, dimana secara definisi masih kontrofersial. Ada yang mengatakan Nabi itu pembawa berita besar, berita dari langit atau yang mendapatkan wahyu. Namun yang jelas bahwa citra dan sikap yang dimiliki seorang Nabi itu adalah harus jujur, amanah, cerdas, dan menyampaikan apa yang diwahyukan oleh Allah. Mengingat dari sifat mulia tadi, bisa ditarik benang merahnya bahwa Nabi itu orang yang baik dan tidak mungkin berdusta apalagi berkhianat demi kepentingan pribadi. Oleh karenanya, Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang( itu) siapa pun itu entah itu raja, mentri atau petani sekalipun,  maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, entah banyak ataupun sedikit. Kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal (karena Allah maha adil dan bijaksana). sedang mereka tidak dianiaya melainkan mereka menganiaya diri mereka sendiri dengan dosanya.
Maqasid: Pesan yang tersirat pada ayat ini mengajak kita agar percaya akan kerasulan Nabi dan tidak gampang untuk berprasangka buruk. Selain itu, al-Qur’an memberikan penegasan bahwa harta baik itu milik sendiri maupun harta hasil perang cendrung memiliki sisi negatif yang menipu nafsu kita menjadi rakus. Oleh karenanya, kita harus waspada akan tipuan dunia ini yang berupa duniawi.
أَفَمَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَ اللَّهِ كَمَنْ بَاءَ بِسَخَطٍ مِنَ اللَّهِ وَمَأْوَاهُ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ (162)
“Apakah orang yang mengikuti keridhaan Allah sama dengan orang yang kembali membawa kemurkaan (yang besar) dari Allah dan tempatnya adalah Jahannam? Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali”.
Ilmu Qira’at; رِضْوَانَ Syu’bah membaca huruf Ra’ dengan dhammah. Al-Baqun membaca kasrah (garis bawah). Sedangkan pada kata وَمَأْوَاهُ as-Susi mengibdalkan huruf hamzah menjadi alif pada saat washal atau waqaf. Adapun Hamzah membaca Ibdal pada saat waqaf saja.
Munasabah; gambaran ayat ini mengenai balasan orang yang baik berbeda dengan orang yang durhaka, sedangkan ayat sebelumnya itu terkait konsistensi sifat seorang Rasul yang tidak mungkin berkhianat dan curang. Oleh karenanya, keterkaitan kedua ayat ini (161 dan 162) adanya saling melengkapi dalam memberikan penjelasan. Ayat 161 menjelaskan konsistensi ibadah dan ayat setelahnya yaitu ayat 162 menjelaskan penegasan hasil ibadah tersebut.
Tafsir; ayat ini berupa sindiran yang dinyatakan dengan pernyataan, yang tujuannya sebenarnya berisikan penegasan yang mau mengutarakan bahwa orang yang taat dan mencari ridha Allah lebih utama dari pada orang yang masih melakukan maksiat. Perbedaan ini seharusnya memberikan dorongan kepada kita agar lebih semangat berbuat baik karena Allah akan membalas sesuai dengan amalnya. Bukan malah menjauh dari yang diperintahkannya.
Menariknya ayat ini menyindir sekaligus menakut-nakuti kepada orang yang masih melakukan maksiat bahwa mereka semua akan masuk neraka jahannam. Sebenarnya sindiran ini halus dalam retorika penyampaiannya, dan cendrung akan membuat seseorang akan berfikir dua kali untuk berbuat dosa mengingat balasan yang akan ditanggungnya.
هُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ اللَّهِ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِمَا يَعْمَلُونَ (163) لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ (164)

“(Kedudukan) mereka itu bertingkat-tingkat di sisi Allah, dan Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan. Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata”.
Tafsir; Subtansi dari ayat ini memberikan kabar gembira kepada kaum muslimin yang taat sekaligus mengingatkan bahwa kebaikan itu adalah dari Allah, tidak boleh membanggakan diri atas ketaat yang dilakukan. Tanpa hidayah dari Allah mustahil bagi manusia untuk melakukan kebaikan dunia ini. Nikmat iman dan kebahagiaan yang diberi oleh Allah harus disyukuri. Tanpa seorang Rasul yang diutus oleh Allah maka manusia akan jauh dari kebenaran. Dan perlu diketahui bahwa Kedudukan mereka itu bertingkat-tingkat di sisi Allah. Dengan tingkatan ini pula maka balasan pahala yang diberikan pun akan bertingkat-tingkat.
Kesimpulan

Allah memberikan nikmat kehidupan kepada manusia di dunia pasti ada fase-fase yang harus dilalui, mengingat dunia adalah tempat ujian, tempat memilih dan beriktiar. Manusia dituntut harus tetap menjaga hatinya untuk tetap meyakini akan keesaan Allah, yang salah satunya selalu beriktiar dan bertawakal kepadanya, entah disaat sedih, susah maupun senang. Memang sulit rasanya bertawakal dan memasrahkan diri kepada Allah, apalagi disaat-saat genting. Namun itu ujian bagi manusia di dunia. Dan dengan ujian ini yang nantinya akan dapat dinilai hasilnya dari tingkatan-tingkatan yang diraih. Tentunya tidaklah sama tingkatan orang yang beriman dengan sungguh-sungguh dan orang yang tidak beriman. Dan beruntunglah orang yang beriman karena keberimanannya itu adalah nikmat dari Allah untuknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar