Tafsir Tahlili Surah Ali Imran dari ayat 159-164
Oleh: Sofyan Solehuddin
فَبِمَا رَحْمَةٍ
مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا
مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ
فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ
الْمُتَوَكِّلِينَ (159) إِنْ يَنْصُرْكُمُ اللَّهُ فَلَا غَالِبَ لَكُمْ وَإِنْ
يَخْذُلْكُمْ فَمَنْ ذَا الَّذِي يَنْصُرُكُمْ مِنْ بَعْدِهِ وَعَلَى اللَّهِ
فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ (160) وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَغُلَّ وَمَنْ
يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا
كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ (161) أَفَمَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَ اللَّهِ
كَمَنْ بَاءَ بِسَخَطٍ مِنَ اللَّهِ وَمَأْوَاهُ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
(162) هُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ اللَّهِ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِمَا يَعْمَلُونَ (163)
لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ
أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ
الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ (164
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku
lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah
mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam
urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal
kepada-Nya”. Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat
mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka
siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu?
Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal.Tidak
mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa
yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan
datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan
diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal,
sedang mereka tidak dianiaya. Apakah orang yang mengikuti keridhaan Allah sama
dengan orang yang kembali membawa kemurkaan (yang besar) dari Allah dan
tempatnya adalah Jahannam? Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali”. (Kedudukan)
mereka itu bertingkat-tingkat di sisi Allah, dan Allah Maha Melihat apa yang
mereka kerjakan. Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman
ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka
sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa)
mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya
sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang
nyata.
Pembahasan
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ
لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ
فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا
عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
(159)
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku
lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah
mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam
urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal
kepada-Nya”.
Mufrodat; فَظًّا artinya جافيا yaitu bengis atau kejam dalam perkataan maupun perbuatan. Sedangkan غَلِيظَ (keras) antonim dari kata رقة (lembut).
Munasabah;
ayat-ayat sebelumnya menjelasakan tentang kekalahan orang islam di perang Uhud,
dimana pada saat itu, sebagian dari orang islam mulai goyah akan
kepercayaannya, lalu dilanjutlah ayat ke 159 ini yang isinya menjelaskan
tentang cara Nabi Muhammad merangkul depresi jiwa dan keputusasaan orang islam
pada saat itu, yaitu dengan memaafkan mereka dan menasehati mereka dengan tutur
kata yang baik dan lemah lembut.
Tafsir; Perang
Uhud adalah perang yang menjadi sejarah tidak terlupakan bagi orang islam
karena pada saat itu kekalahan sedang menimpa orang islam. Banyak para penghafal
al-Qur’an yang meninggal dan yang lebih sedihnya lagi Nabi Muhammad mengalami
luka-luka. Itu semua karena keteledoran para Sahabat yang tidak mengikuti
instruksi dari Nabi. Namun Allah tidak akan lupa pada orang islam, maka disebabkan rahmat dari
Allah-lah kamu Nabi Muhammad berlaku lemah lembut terhadap mereka. Karena
dengan lemah lembut itu keluar dari hati dan akan mudah diterima oleh hati pula
apalagi dengan didasari dengan keikhlasan yang tinggi. Berbeda jika penyampaian
yang dilakukan oleh Nabi dengan kasar dan angkuh maka pasti para Sahabat akan
merasa tersinggung.
Menariknya pada ayat ini, Allah memerintahkan Nabi agar supaya
memaafkan meraka yang membangkang dan memintakan maaf kepada Allah. Untungnya
beliau dapat Rahmat yang besar dari Allah berupa hati yang sangat baik sehingga
tidak susah bagi Nabi untuk melakukannya, Walaupun beliau sempat dikecewakan
oleh sebagian sahabat yang turun dari gunung untuk mengambil harta rampasan.
Yang tidak kalah penting adalah musyawarah yang tetap dianjurkan oleh Allah
pada Nabi dengan sahabat-sahabat yang sempat mengecewakannya tentang urusan
peperangan. Apalagi bermusyawarah dengan sahabat-sahabat yang patuh dengannya. Apapun
hasil musyawarah yang disepakati harus tetap bertawakkallah kepada Allah
akan setiap sesuatu yang akan terjadi. Dan inilah sejatinya orang beriman
karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
إِنْ يَنْصُرْكُمُ اللَّهُ
فَلَا غَالِبَ لَكُمْ وَإِنْ يَخْذُلْكُمْ فَمَنْ ذَا الَّذِي يَنْصُرُكُمْ مِنْ
بَعْدِهِ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ (160)
“Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang
dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan),
maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah
itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal”.
Ilmu Qira’at; Semua
imam tujuh membaca sukun dihuruf Ra’ pada kata إِنْ يَنْصُرْكُمُ, sedangkan pada فَمَنْ ذَا الَّذِي يَنْصُرُكُمْ huruf Ra’ oleh as-Susi dibaca sukun. Ad-Duri Abu Amr membaca
dengan sukun dan dhammah secara ikhtilas (Muhsin Salim, 2008. Hlm. 167).
Tafsir; Tawakal
kepada Allah harus tetap dijaga dan menjadi komitmen dalam lubuk hati orang
islam. Karena semua manusia tidak akan tahu sesuatu yang akan terjadi
dikemudian hari, khususnya bagi orang yang berperang entah akan menang atau
akan kalah. Soalnya Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang
dapat mengalahkan kamu. Sehebat apapun strategi musuh kala itu. Begitupun jika
Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang
dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu?. Dan itu terbukti
orang islam pada perang Uhud mengalami kekalahan. Walau kekalahan itu tetap
mendapatkan pahala sahid. Amin.
Selama manusia hidup maka tidak ada yang tahu masa yang akan
datang kecuali diberi tahu oleh Allah. Karena itu hendaklah kepada Allah saja
orang-orang mukmin bertawakkal. Atas segala hal. Tidak boleh sekali-kali
hati kita diisi oleh selain Allah. Jika itu masih terjadi maka iman seseorang
perlu dipertanyakan.
Kata وَعَلَى
اللَّهِ didahulukan
dari fi’ilnya mengandung sebuah penekanan bahwa orang-orang mukmin itu
wajib bertawakkal segala urusannya kepada Allah. Kalau kita menghayati
arti dari mukmin adalah rasa aman, pasrah dan yakinnya seorang hamba kepada
tuhannya. Oleh karenanya, mustahil seorang yang sudah mukmin masih bergantung
dan merasa aman kepada selain Allah. Dan perlu diketahui bahwa ayat ini
memberikan penegasan kepada kita agar meyakini bahwa janji Allah itu pasti.
Allah tidak mungkin mengingkari janji-Nya.
Maqasid: orang
beriman harus yakin dan bertawakal akan pertolongan Allah.
وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ
أَنْ يَغُلَّ وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ
تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ (161)
“Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan
harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang
itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu,
kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan
dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya”.
Mufrodat; الغلّ mengambil sesuatu yang samar.
Ilmu Qira’at; أَنْ يَغُلَّ Ibnu Katsir, Abu Amr dan Ashim membaca huruf Ya’ dengan baris atas
dan huruf Ghain dengan garis dhammah. Sedangkan pada kata يُظْلَمُونَ Warsy membaca huruf lam dengan taghlizh sedangkan al-Baqun
dengan tarqiq.
Munasabah;
Ayat ini menceritakan kemulyaan sifat Nabi yang terjaga dan jauh dari sifat
khianat (harta rampasan), sedangkan ayat sebelumnya mempunyai kesamaan dengan
ayat ini, yaitu kemulyaan sifat Nabi yang lembut, pema’af dan masih menerima
mereka untuk tetap diajak musyawarah dan
dirangkul lagi.
Tafsir; Tidaklah
benar dan tidak masuk akal seorang Nabi dan Rasul akan mengkhianati, curang
atau korupsi masalah harta rampasan perang. Jika mereka berkhianat maka
tidak mungkin akan diangkat menjadi Rasul atau Nabi. Untuk mempertegas akan
kebenaran dan kebaikan seorang Nabi maka perlu kirannya mengetahui penggunaan kata
Nabi, dimana secara definisi masih kontrofersial. Ada yang mengatakan Nabi itu
pembawa berita besar, berita dari langit atau yang mendapatkan wahyu. Namun
yang jelas bahwa citra dan sikap yang dimiliki seorang Nabi itu adalah harus
jujur, amanah, cerdas, dan menyampaikan apa yang diwahyukan oleh Allah.
Mengingat dari sifat mulia tadi, bisa ditarik benang merahnya bahwa Nabi itu
orang yang baik dan tidak mungkin berdusta apalagi berkhianat demi kepentingan
pribadi. Oleh karenanya, Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan
perang( itu) siapa pun itu entah itu raja, mentri atau petani
sekalipun, maka pada hari kiamat ia
akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, entah banyak ataupun
sedikit. Kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia
kerjakan dengan (pembalasan) setimpal (karena Allah maha adil dan
bijaksana). sedang mereka tidak dianiaya melainkan mereka menganiaya
diri mereka sendiri dengan dosanya.
Maqasid: Pesan
yang tersirat pada ayat ini mengajak kita agar percaya akan kerasulan Nabi dan
tidak gampang untuk berprasangka buruk. Selain itu, al-Qur’an memberikan
penegasan bahwa harta baik itu milik sendiri maupun harta hasil perang cendrung
memiliki sisi negatif yang menipu nafsu kita menjadi rakus. Oleh karenanya,
kita harus waspada akan tipuan dunia ini yang berupa duniawi.
أَفَمَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَ اللَّهِ
كَمَنْ بَاءَ بِسَخَطٍ مِنَ اللَّهِ وَمَأْوَاهُ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
(162)
“Apakah orang yang mengikuti keridhaan Allah sama
dengan orang yang kembali membawa kemurkaan (yang besar) dari Allah dan
tempatnya adalah Jahannam? Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali”.
Ilmu Qira’at; رِضْوَانَ Syu’bah membaca huruf Ra’ dengan dhammah. Al-Baqun membaca kasrah
(garis bawah). Sedangkan pada kata وَمَأْوَاهُ as-Susi mengibdalkan huruf hamzah menjadi alif pada saat washal
atau waqaf. Adapun Hamzah membaca Ibdal pada saat waqaf saja.
Munasabah; gambaran
ayat ini mengenai balasan orang yang baik berbeda dengan orang yang durhaka,
sedangkan ayat sebelumnya itu terkait konsistensi sifat seorang Rasul yang
tidak mungkin berkhianat dan curang. Oleh karenanya, keterkaitan kedua ayat ini
(161 dan 162) adanya saling melengkapi dalam memberikan penjelasan. Ayat 161
menjelaskan konsistensi ibadah dan ayat setelahnya yaitu ayat 162 menjelaskan
penegasan hasil ibadah tersebut.
Tafsir; ayat
ini berupa sindiran yang dinyatakan dengan pernyataan, yang tujuannya
sebenarnya berisikan penegasan yang mau mengutarakan bahwa orang yang taat dan
mencari ridha Allah lebih utama dari pada orang yang masih melakukan maksiat.
Perbedaan ini seharusnya memberikan dorongan kepada kita agar lebih semangat
berbuat baik karena Allah akan membalas sesuai dengan amalnya. Bukan malah
menjauh dari yang diperintahkannya.
Menariknya ayat ini menyindir sekaligus menakut-nakuti kepada
orang yang masih melakukan maksiat bahwa mereka semua akan masuk neraka
jahannam. Sebenarnya sindiran ini halus dalam retorika penyampaiannya, dan
cendrung akan membuat seseorang akan berfikir dua kali untuk berbuat dosa mengingat
balasan yang akan ditanggungnya.
هُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ اللَّهِ
وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِمَا يَعْمَلُونَ (163) لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى
الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو
عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ
وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ (164)
“(Kedudukan) mereka itu bertingkat-tingkat di sisi
Allah, dan Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan. Sungguh
Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah
mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang
membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan
mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum
(kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata”.
Tafsir; Subtansi
dari ayat ini memberikan kabar gembira kepada kaum muslimin yang taat sekaligus
mengingatkan bahwa kebaikan itu adalah dari Allah, tidak boleh membanggakan
diri atas ketaat yang dilakukan. Tanpa hidayah dari Allah mustahil bagi manusia
untuk melakukan kebaikan dunia ini. Nikmat iman dan kebahagiaan yang diberi
oleh Allah harus disyukuri. Tanpa seorang Rasul yang diutus oleh Allah maka
manusia akan jauh dari kebenaran. Dan perlu diketahui bahwa Kedudukan mereka
itu bertingkat-tingkat di sisi Allah. Dengan tingkatan ini pula maka
balasan pahala yang diberikan pun akan bertingkat-tingkat.
Kesimpulan
Allah memberikan nikmat kehidupan kepada manusia di dunia pasti
ada fase-fase yang harus dilalui, mengingat dunia adalah tempat ujian, tempat
memilih dan beriktiar. Manusia dituntut harus tetap menjaga hatinya untuk tetap
meyakini akan keesaan Allah, yang salah satunya selalu beriktiar dan bertawakal
kepadanya, entah disaat sedih, susah maupun senang. Memang sulit rasanya
bertawakal dan memasrahkan diri kepada Allah, apalagi disaat-saat genting.
Namun itu ujian bagi manusia di dunia. Dan dengan ujian ini yang nantinya akan
dapat dinilai hasilnya dari tingkatan-tingkatan yang diraih. Tentunya tidaklah
sama tingkatan orang yang beriman dengan sungguh-sungguh dan orang yang tidak
beriman. Dan beruntunglah orang yang beriman karena keberimanannya itu adalah
nikmat dari Allah untuknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar