Pendahuluan
Latar Belakang Masalah
Puasa merupakan salah satu rukun islam yang wajib dikerjakan oleh
orang-orang islam. Oleh karenanya penting kiranya untuk dikaji lebih dalam,
bukan hanya sekedar menjalankannya saja, melainkan mengetahui keterangan lebih
lanjut, khususnya keterangan-keterangan tentang ayat-ayat yang berkaitan
tentang kewajiban berpuasa.
Mungkin saja sebagian dari kita sudah tahu perintah dari wajibnya
berpuasa, akan tetapi masih banyak dari kita yang masih belum mengetahui
keterangan langsung dari ayat-ayat oleh para mufasir. Yang notabena ada
segi-segi tertentu yang kadangkala menimbulkan kontrofersi dikalangan mufasir.
Disinilah pentingnya pembahasan materi tafsir maudhu’i ibadah yang
berhubungan dengan puasa. Yang mana didalamnya akan mengkaji tafsir dari
ayat-ayat yang berkaitan langsung dengan puasa, didukung lagi adanya penyuguhan
beberapa pendapat para mufasir diketerang-keterangan tertentu.
Pembahasan
Mufradat
كُتِبَ
:Diwajibkan تَتَّقُونَ :kalian bertaqwa
يُطِيقُونَهُ
:mereka berat menjalankannya الْعُسْرَ :sukar
تَطَوَّعَ
:melakukan secara suka rela تَشْكُرُونَ :kalian bersyukur
الْيُسْرَ
:mudah
AsbabunNuzul
1. Ibnu Jarir meriwayatkan dari Mu’adz bin
Jabal r.a, bahwa ia berkata
:Sesungguhnya Rasulullah Saw tiba di Madinah lalu berpuasa
‘Asyura dan tiga hari setiap bulan,
kemudian Allah Swt mewajibkan puasa
Ramadhan, maka turunlah ayat
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ
عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ
2.
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ
مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى
الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا
فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Sa’id bin
Jubair bahwasanya ayat ini diturunkan berkenaan dengan dengan maula Qais bin
Assa’ib yang memaksakan dirinya melakukan puasa padahal dirinya sudah tua[1], maka
dengan turunnya ayat ini, ia membatalkan puasanya dan membayar fidyah dengan
memberi makan seorang miskin selama ia tidak berpuasa.
3.
Diriwayatkan dari Salmah bin Akwa’ bahwa ketika turun ayat dan wajib
bagi mereka yang berat menjalankan puasa membayar fidyah yaitu memberi makan
seorang miskin, maka siapa yang suka diantara kita berpuasa dan siapa yang suka
berbuka dan membayar fidyah sebagai gantinya, sehingga turunlah ayat berikutnya
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ
فَلْيَصُمْهُ
Pengertian Puasa
Shaum secara Bahasa mempunyai arti menahan sedangkan secara
terminologi yaitu menahan dari sesuatu yang membatalkan puasa dengan niat
khusus sepanjang siang hari yang merupakan waktu berpuasa, bagi seorang muslim
yang berakal suci dari haid dan nifas[2]. Sedangkan di dalam kitab
Al-Iqna’ ialah menahan dari segala yang
membatalkan puasa dengan cara yang
khusus dan disertai niat[3].
Munasabah
Ayat-ayat sebelumnya membahas tentang hukum qishash dan wasiat
sebagai kebaikan sosial dalam sebuah masyarakat dan keluarga, sedangkan ayat
selanjutnya yaitu ayat 183 menjelaskan tentang hukum puasa, dimana hukum puasa
ini dapat mensucikan jiwa dan pengekangan hawa nafsu sehingga dengan ini bisa
mengantarkan manusia menjadi orang yang bertaqwa. Dan dengan ketaqwaan ini akan
terhindar dari perbuatan keji seperti membunuh (yang akhirnya diqishash) dan
terhindar dari ketidakamanahan dalam wasiat.
Tafsir
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ
مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (183)
“Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertaqwa.”
Allah Ta’ala berfirman pada ayat di atas guna menyuruh umat ini
berpuasa. Menurut Muhammad Ali As-shabuni dalam tafsirnya sofwatu tafasir:
secara bahasa, puasa adalah menahan sesuatu. Sedangkan secara istilah ialah
menahan diri dari makan, minum, jima’ di siang hari dengan dilandasi niat.[4]
Ayat ini dimulai dengan suatu pengantar yang mengundang setiap
mukmin untuk sadar akan perlunya melaksanakan ajakan itu. Ia dimulai dengan
panggilan mesra, wahai orang-orang yaang beriman. Kemudian dilanjutkan dengan
menjelaskan kewajibaan melaksanakan amal
tanpa menunjukkan siapa yang mewajibkannya, Diwajibkan atas kamu.
Redaksi ini mengisyaratkan akan pentingnya perintah tersebut. Yang diwajibkan adalah ash-shiyam yakni
puasa (menahan diri). Dan menahan diri dibutuhkan oleh setiap orang, baik yang
kaya atau miskin, muda atau tua, lelaki atau perempuan. Sebagaimana telah
diwajibkan pula atas umat-umat terdahulu sebelum kamu.[5]
Perintah ini tentunya berdampak positif bagi kita dalam menyucikan
badan dan mempersempit gerakan setan, sebagaimana hal ini dikemukakan dalam shahihain
(194),
«يا معشر الشباب من
استطاع منكم الباءة فليتزوج، ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء») رواه البخاري ومسلم(.
“Wahai para pemuda, barang siapa diantara kamu sudah mampu
memikul beban keluarga, maka kawinlah, dan barang siapa yang belum mampu maka
berpuasalah karena itu merupakan benteng baginya.” (HR Bukhari Muslim).
Pada permulaan islam, puasa dilakukan tiga hari pada setiap bulan. Kemudian
pelaksanaan itu dinasakh oleh puasa dibulan ramadhan. Dari Muadz, Ibnu Mas’ud,
dan yang lainnya dikatakan bahwa puasa ini senantiasa disyariatkan sejak zaman
nabi Nuh hingga Allah menasakh ketentuan itu dengan puasa ramadhan.[6] Kewajiban
tersebut dimaksudkan agar kamu bertaqwa, yakni. Terhindar dari segala
sanksi dan dampak buruk, baik duniawi maupun ukhrawi. Muhmmad Ali as-Shabuni
berkata: supaya menjadi orang yang bertaqwa kepada Allah dan menjauhi semua
yang dilarangnya.
أَيَّامًا
مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ
أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ
كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (184)
(yaitu) dalam beberapa hari
tertentu, maka barang siapa diantara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya
berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itupada hari-hari yang lain.
Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barang siapa
yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik
baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Kata أَيَّامًا
dapat dipahami dengan
artian; hari-hari yang menunjukkan waktu bersamaan. Sedangkan kata مَعْدُودَاتٍyang
berarti terhitung jumlahnya bahwa hari-hari puasa itu diketahuai[7].
Sedangkan menurut Muhammad Ali As-shabuni, pada kata
itu mengandung pengertian bulan Ramadhan[8]. Dengan
ini, ketika seseorang tidak bisa berpuasa dibulan Ramadhan, entah karena ada
alasan sakit atau dalam perjalanan (lalu berbuka)[9] maka
iddahnya harus berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya pada hari-hari yang
lain[10], ini
merupakan bentuk kelonggaran dalam berpuasa yang mungkin saja kita ada dalam
posisi itu, ada juga orang yang merasa berat berpuasa dikarenakan sudah lanjut
usia lalu dia berbuka puasa, maka fidyahnya memberi makan orang-orang miskin
setiap harinya (setiap dia tidak berpuasa)[11].
Sedangkan bagi siapa saja melakukan kebajikan (تَطَوَّعَ)[12] maka
itu jauh lebih baik. Apalagi berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Menurut ar-Razi ayat ini ada dua
kategori; pertama, khithab ini berlaku atau ditujukan hanya untuk orang-orang
yang merasa berat menjalankannya saja (يُطِيقُونَهُ),
kedua, berpuasa itu lebih baik dilakukan oleh orang-orang yang disebutkan
didepan tadi, seperti orang sakit, musafir, dan orang yang berat menjalankan
puasa. Dan yang kedua ini yang lebih utama mengingat lafadnya bersifat umum.
Ketiga, menjadi ‘athaf dari ayat yang pertama, yaitu وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ. Pandangan ini
terlihat berbeda, namun pada intinya kalau kita tidak punya halangan lebih baik
berpuasa, apalagi di bulan suci Ramadhan, karena bulan ini adalah bulan yang
penuh keberkahan, ampunan dan dilipatkannya sebuah pahala amal kebaikan.
berikut penjelasan tafsir tentang ayat bulan Ramadhan.
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ
الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ
شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ
فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ
بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا
هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (185)
“(Baberapa hari
yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan
(permulaan) al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang haq dan yang batil). Karena
itu, barang siapa diantara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan
itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau
dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah bagi berpuasa) sebanyak hari
yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan
bagi kamu dan tidak menghendaki kesukaran bagi kamu. Dan hendaklah kamu
mencukupkan bilangannya dan hendaklah dan hendaklah kamu mengagungkan Allah
atas petunjuk-NYA yang diberikan kepada kamu supaya kamu bersyukur.”
Pada ayat ini, Allah menyinggung turunnya Al-Qur’an yaitu turun
pada bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya terdapat banyak Rahmat serta
ampunan dari Allah. Pada bulan inilah awal turunnya Al-Qur’an yang
keberadaannya dapat menjadi hidayah (petunjuk) bagi manusia, sekaligus pembeda
antara yang hak dan yang batil. Oleh karenannya, barang siapa diantara kamu
hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa
pada bulan itu,
Ayat di atas memberikan titik tekan bahwa adanya pernyataan yang
menyuruh umat Nabi Muhammad Saw. agar berpuasa di bulan Ramadhan[13] disaat
mengetahui adanya hilal, entah melihat sendiri atau dapat kabar dari orang-orang
yang terpercaya (bersumpahnya orang yang melihat[14] atau
kesepakatan ulama’), Tentunya tidak melakukan perjalanan jauh (bermukim di
tempat tinggalnya) dan tidak sakit (benar-benar sehat).[15] Namun
ada rukhsah bagi siapa saja
yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah bagi
berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain.
Disinah keindahan islam tidak menuntut untuk dilakukan suatu amalan puasa
(khususnya bulan ramadhan) bagi yang berhalangan. Islam cendrung mempermudah
bukan justru mempersusah atau memberatkan manusia untuk beribadah. Tapi bukan
berarti kita santai-santai yang dikit-dikit tidak berpuasa lantaran males atau
sakit yang dibuat-buat.
Dalam kontek saat kita dalam perjalanan sebenarnya ada perdebatan
tentang manakah yang lebih utama, apakah berbuka atau justru tetap berpuasa.
Pertama, lebih baik berbuka melihat dari peristiwa nabi Muhammad pada saat
pergi berperang di bulan ramadhan untuk pembebasan kota makkah, pada saat itu,
beliau berjalan sampai di al-Kadid, lalu beliau berbuka dan menyuruh orang
berbuka. Kedua, segolongan ulama’ diantaranya Imam asy-Syafi’i berpendapat
bahwa puasa dalam perjalanan itu lebih afdhal dari pada berbuka, salah
satu alasannya karena Rasullah pernah tetap berpuasa dan Abdullah bin Rawahah,
walaupun yang lain berbuka. Dari perbedaan ini, bisa ditarik kesimpulan bahwa
berbuka puasa pada saat perjalanan di bulan Ramadhan itu sebuah pilihan bukan
keharusan. Namun perlu digarisbawahi bahwa berpuasa bukan semata-mata menahan
lapar dan haus melainkan sebuah keteguhan hati akan komitmen beribadah dan taat
kepada Allah apapun kondisinya.
Kesimpulan
Bulan Ramadha adalah bulan yang spesial bagi kaum muslimin
khususnya, didalamnya ada perintah diwajibkannya sebuah amalan ibadah yaitu
puasa. Amalan yang kalau dijalankan dengan penuh ketaatan dan keikhlasan akan
mewujudkan rasa takwa yang mendalam
kepada Allah. Namun kewajiban ini ada keringanan bagi orang yang sakit,
dalam perjalanan atau menyusui untuk tidak berpuasa namun perlu di qadha’
dikemudian hari.
Daftar Pustaka
Muhammad
ali as-shabuni, safwatu tafasir, dar shobuni, (kairo:1997). jilid
.1cet.1. hlm. 107. Maktaba shamela.
Shihab Quraish, Tafsir Al-Mishbah, jakarta:lentera hati.
2012. cet.5. hlm. 484.
Muhammad
Nasib ar-Rifa’i, Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishhari tafsir Ibnu Katsir.
terj. Syihabuddin. (Jakarta: gema insani press, 1999). jilid 1, cet, 1.hlm. 287.
Muhammad Mutawalli Sya’rawi, tafsir sya’rawi, terj, Tim Terj
Safir al-Azhar. (Jakarta: PT Ikrar Mandiri Abadi), Jild, 1.hlm. 581.
Jalaluddin
Mahalli dan Jalaluddin as-Syuyuti. Tafsir Jalalin Hlm. 38. Jild 1.
Ibnu Katsiir, Lubaabut Tafsir min Ibnu Katsiir. Tej.
Abdullah bin Muhammad. Pustaka Imam Syafi’i, 2007. cet. 5. Hal. 348
Muhmmad Mahmud al-hijazi, Tafsir al-Wadih. Dar
al-Jail al-Jadid Bairut. 1413 H.
[1]Shaleh. A
Dahlan. H M D Dahlan, Asbabun Nuzul (Bandung:Dipenogoro,1995) hal. 54
[2]Muhammad
bin Qasim, Fathul Qarib, (Beirut,Dar Ibnu Hazmi,2005) hal. 136
[3]Muhammad
Asy-Syarbini, Al-Iqna’(Beirut, Dar Al-Fikr) hal. 234 jilid. 1
[9]Menurut
Al-Hijazi Muhammad Mahmud dalam Tafsirnya Tafsir al-Wadih; ketika
seseorang sakit atau dalam perjalanan maka boleh berbuka, karena kedua kondisi
pada saat itu termasuk kondisi mashaqoh namun harus mengqadha’nya. Dan
beliau memberi batasan safar seperti shalat qoshor yaitu 80 kilometer
sedangkan untuk ibu hamil dan menyusui lalu takut akan kondisi kesehatan
bayinya terganggu maka boleh berbuka puasa, tapi membayar fidyah dan
mengqadha’nya. Tapi kalau yang dikhawatirkan itu dirinya dan anaknya maka boleh
bagi keduanya mengqadha atau membayar fidyah.
[12]Menurut
Muhammad ali as-shabuni dalam tafsirnya; تَطَوَّعَ diartikan
dengan “menambah ukuran yang telah disebutkan”. Sedangkan menurut ar-Razi dalam
kitabnya mafatih al-Ghaib, ada tiga macam;(1)memberi makan satu orang
miskin atau banyak, (2) memberi makan satu orang miskin namun dengan kadar yang
lebih banyak dari pada yang diwajibkan, (3) as-zuhri berkata; yaitu orang yang
berpuasa dan sekaligus membayar fidyah itu lebih bagus lagi.
[15]
Ibnu Katsiir, Lubaabut Tafsir min Ibnu Katsiir. Tej. Abdullah bin
Muhammad. Pustaka Imam Syafi’i, 2007.
cet. 5. Hal. 348.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar