makalah Asbab al-Nuzul
Pendahuluan
Pendahuluan
Alquran dalam proses penurunannya tidak turun sekaligus dalam satu
waktu, namun turun secara berangsur-angsur dalam kurun waktu kurang lebih 23
tahun. Ada yang turun untuk memberikan hidayah, pendidikan, dan pencerahan,
tanpa didahului atau terikat dengan sebab tertentu dan ada juga turun terkait
dengan persoalan dan peristiwa yang terjadi saat waktu diturunkan.
Asbabun nuzul menempati posisi yang penting dalam menafsirkan Alquran dan untuk bisa memahaminya pun tidak
terlepas dari kondisi sosio-historis dimana Alquran itu diturunkan. Sabab nuzul
mendeskripsikan bahwa ayat-ayat Alquran memiliki hubungan dialektik dengan
fenomena sosiokultur masyarakatnya. Mengetahui penyebab penurunan wahyu dapat
membantu mufassir dalam mengungkap makna yang sebenarnya, hikmah dibalik penetapan
suatu hukum, serta mempermudah memahami pesan Alquran secara komprehensif dan
proporsional.[1]
Pembahasan
1.
Pengertian Asbab al-Nuzul
Al-Quran
berfungsi sebagai petunjuk dalam menghadapi berbagai situasi. Ayat-ayat
tersebut diturunkan dalam kedaan dan waktu yang berbeda-beda. Kata asbab
(tunggal: sababa) secara etimologi berarti alasan atau sebab terjadinya
sesuatu yang lain. Dan kata al-Nuzul berarti jatuh dari tempat yang
tinggi. Kemudian dua kata tersebut digabung menjadi satu menjadi Asbab dan
Nuzul[2].
Adapun Asbab al-Nuzul berarti pengetahuan tentang sebab-sebab
diturunkannya suatu ayat.
Menurut
al-Zarqani, asbab al-nuzul adalah “suatu kejadian yang menyebabkan
turunnya satu atau beberapa ayat, atau suatu peristiwa yang dapat dijadikan
petunjuk hukum berkenaan dengan turunnya suatu ayat.”
Pendapat yang hampir sama dikemukakan Shubhi al-Shalih: “Sesuatu
yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat yang memberi jawaban terhadap
sebab itu, atau menerangakn hukumnya pada masa terjadinya sebab itu.”[3]
Quraish Shibab memaknai asbab al-nuzul sebagai
peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa turunnya ayat, baik sebelum maupun
sesudahnya turunnya, dimana kandungan ayat tersebut berkaitan/dapat dikaitkan
dengan peristiwa itu. Peristiwa yang dimaksud bisa jadi berupa kejadian
tertentu, bisa juga dalam bentuk pertanyaan yang diajukan, sedang yang dimaksud
sesudah turunnya ayat adalah bahwa peristiwa tersebut terjadi pada masa
turunnya al-Qur’an, yakni dalam rentang waktu dua puluh dua tahun, yakni masa
yang bermula dari turunnya al-Qur’an pertama kali sampai ayat terakhir turun.[4]
Ada
beberapa unsur yang tidak boleh diabaikan dalam analisa asbab al-nuzul,
yaitu adanya suatu kasus atau peristiwa, adanya pelaku peristiwa, adanya tempat
peristiwa dan adanya waktuperistiwa. Kualitas peristiwa, pelaku, tempat dan
adanya waktu perlu diidentifikasi dengan cermat guna menerapkan ayat-ayat itu
pada kasus lain dan di tempat dan waktu yang berbeda.[5]
2.
Faedah mengetahui Asbab al-Nuzul
Menurut
sebagian ulama ada beberapa faedah mengetahui dan memahami asbab al-nuzul.
Di antara ulama yang berpendapat seperti itu adalah:
1.
Ibnu
al-Daqiq (w. 702 H)
Ibnu al- Daqiq
menyatakan bahwa mengetahui asbab al-nuzul merupakan metode yang utama
dalam memahami pesan yang terkandung dalam al-Qur’an.
2.
Ibnu
Taimiyah (w.726 H)
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa mengetahui asbab
al-nuzul akan membantu dalam memahami ayat al-Qur’an, karena memahami sebab
berarti juga mengetahui musabab.
3.
Al-Wahidi
(w. 427)
Al-Wahidi menyatakan sebagaimana dikutip
oleh Al-Suyuthi bahwa tidak mungkin seseorang dapat menafsirkan suatu ayat
tanpa mengetahui sejarah turunnya dan latar belakang masalahnya.[6]
Dari pemaparan tiga
ulama di atas bahwasanya faedah utama dari mengetahui asbab al-nuzul mengetahi
sejarah turunnya suatu ayat dan latar belakangnya. Contohnya adalah firman
Allah Swt Surah al-Baqarah ayat 158:
إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ
فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ
بِهِمَا وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ
Artinya:
“sesungguhnya shafa dan marwah adalah sebagian dari syiar Allah. maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’I antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha mensyukuri kebaikan lagi Maha mengetahui.”
“sesungguhnya shafa dan marwah adalah sebagian dari syiar Allah. maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’I antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha mensyukuri kebaikan lagi Maha mengetahui.”
Sesungguhnya ayat tersebut fokus pada hal dilarangnya melakukan sesuatu
kekejian dan perbuatan yang diharamkan ketika melakukan sa’I anata bukit Shafa
dan Marwah. Ayat tersebut sama sekali tidak mengatakan secara jelas mengenai
kewajiban melakukan sa’I di antara kedua bukit tersebut. Lalu timbul suatu
pertanyaan, “Mengapa ayat tersebut hanya menyinggung larangan berbuat
dosaketika melakukan sa’i dan tidak mengumumkan kewajiban melakukan sa’i?”
Jawaban dari pertanyaan di atas akan dapat kita ketahui dengan cara
mengetahui terlebih dahulu faedah asbab al-nuzul ayat tersebut. Asbab al-nuzul ayat tersebut terjadi ketika sebagian sahabat ada yang melakukan
perbuatan dosa disaat sa’i antara bukit shafa dan marwah, karena mereka masih terpengaruh
dengan budaya Jahiliah. Lalu turunlah ayat tersebut. Turunnya ayat itu sebagai
pemberitahuan agar akan larangan melakukan hal tersebut agar perbuatan itu
hilang dari mendset dan kebiasaan mereka. Dan juga sebagai penjelasan bahwasanya bukit
shafa dan marwah adalah bagian dari syi’ar Allah Swt, dan ibadah sa’i yang
dilakukan antara kedua bukit tersebut bukanlah termasuk perbuatan orang-orang
Jahiliah.[7]
Sementara menurut al-Buthi, bahkan juga dari al-Suyuthi, al-Zarkasyi dan
al-Zarqani masing-masing menyebutkan enam hingga tujuh macam faedah
(akseologi)dari mempelajari ilmu asbabun nuzul, yaitu:
1. Mengenali hikmah bagaimana Allah SWT.
Menerangkan hukum-hukum yang disyariatkannya dengan melibatkan asbabun nuzul.
2. Sangat membantu memahami ayat dalam
rangka menghindari dari kemungkinan timbul kesulitan dari padanya; serta
menolak kemungkinan dugaan pembatasan (al-hasr) dari redaksi yang secara
literal mengisyaratkan pembatasan itu.
3. Membantasi hukum dengan sebab tertentu
bagi mereka yang menganut kaedah ungkapan (ibarat) didasarkan atas kekhususan
sebab, bukan pada keumuman teks.
4. Mengetahui bahwa sabab nuzul itu tidak
akan keluar dari koridor hukum ayat tatkala ditemukan pengkhususan
(mukhashishnya).
5. Mengetahui secara jelas kepada siapa
ayat itu ditujukan
6. Mempermudah pemahaman dan pengokohan
lintasan wahyu Allah kedalam hati orang-orang yang mendengarkan ayat-ayat
Alquran.
7. Meringankan hafalan, mempermudah
pemahaman dan semakin memperkuat keberadaan wahyu Alquran didalam hati setiap
orang yang mendengarkan ayat-ayat Alquran manakala dia mengetahui asbab
nuzulnya[8]
3.
Fungsi atau peran asbabun nuzul
Ada beberapa fungsi adanya asbabun nuzul dalam kajian tafsir, yang
secara rinci telah dipaparkan oleh salah satu tokoh islam yaitu Al-Zarqoni. Berikut
uraian beliau terkait macam-macam fungsi adanya asbabun nuzul:
1.
Membantu
mengungkap rahasia dan tujuan secara khusus disyari’atkannya agama lewat Alquran
2.
Dapat
membantu dan mempermudah seseorang dalam memahami ayat Alquran
3.
Dapat
memberikan keterangan tentang penolakan dugaan adanya pembatasan{ الحصر}
dalam ayat yang menurut zahirnya mengandung pembatasan misalnya firman Allah
yang terdapat dalam Surat Al An’am ayat 145 yang artinya: Tidaklah aku
peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang
yang hendak memakannya kecuali makanan itu bangkai atau darah atau daging babi,
karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih tidak
menyebut nama Allah. Imam Syafi’i menyatakan bahwa hashr pada ayat tersebut
bukanlah termasuk yang dimaksud dalam ayat tersebut, dengan alasan bahwa sebab
turunya ayat diatas sehubungan dengan sikap orang-orang kafir yang tidak suka
mengharamkan kecuali apa yang dihalalkan oleh Allah.
4.
Mengkhususkan
suatu hukum pada sebab. Hal ini terbatas pada ulama yang memandang bahwa yang
harus diperhatikan adalah kekhususan sebab dan keumuman lafad.[9]
Pernyataan senada terkait fungsi adanya Asbabun Nuzul juga
disampaikan oleh as-Suyuthi, yang secara tegas mengatakan pentingnya peran
Asbabun Nuzul dalam menafsirkan Alquran. Berikut ulasan akan pentingnya Asbabun
Nuzul menurut as-Suyuthi:
1.
Mengetahui
sisi-sisi positif (hikmah) yang mendorong atas pensyariatan hukum,
2.
Dalam
mengkhususkan hukum bagi siapa yang berpegang dengan kaidah:”bahwasannya
ungkapan (teks) Alquran itu didasarkan atas kekhususan sebab, dan
3.
Kenyataan
menunjukkan bahwa adakalanya lafal dalam ayat Alquran itu bersifat umum, dan
kadang perlu pengkhususan yang pengkhususannya itu sendiri terletak pada
pengetahuan tentang sebab turun ayat itu.
4.
Bentuk dan pola Asbabun Nuzul
Pengertian Asbabun Nuzul diatas memberikan indikasi bahwa sebab
turunnya suatu ayat adakalanya berbentuk peristiwa dan adakalanya berbentuk
pertanyaan[10].
Diktum ini menandakan bahwa Satu ayat atau beberapa ayat yang turun berfungsi
untuk menerangkan hal yang berhubungan dengan peristiwa tertentu atau memberi
jawaban terhadap pertanyaan tertentu. Di dalam peristiwa atau pertanyaan yang
terkandung dalam asbabun nuzul terkadang ada redaksi pernyataan tegas mengenai
sebabnya terkadang pula hanya mengandung kemungkinan saja.
Bentuk pertama,
yang subtansinya ada unsur ketegasan dan jelas bahwa yang disebutkan dalam
riwayat merupakan sebab nuzul ayat Alquran ialah jika perawi mengatakan:”Sebab
nuzul ayat ini adalah begini” diantara contohnya ialah sabab nuzul ayat
(QS AL-Ahzab [33]:6), atau menggunakan fa
ta’qibiyah (kira-kira seperti “maka”, yang menunjukkan urutan peristiwa).
Yang dirangkaikan dengan kalimat “turunlah ayat”, sesudah ia menyebutkan
peristiwa atau pertanyaan. Misalnya, ia mengatakan سئل
رسول الله صلى الله عليه وسلم عن كذا فنزلت الاية “Rasulullah ditanya
tentang hal begini, maka turunlah ayat ini.” Dengan demikian bentuk redaksi
pernyataan tadi jelas akan sebab turunnya ayat. Selain itu adanya pertanyaan
kepada Rasulallah yang kemudian dijawab Allah dengan turunnya ayat Alquran
walau tidak ada kata sabab dalam periwayatannya atau tidak adanya fa’
litta’qib contohnya seperti ayat 215 Al-Baqarah [2].
Bentuk yang kedua, yaitu redaksinya boleh jadi menerangkan sebab nuzul atau hanya
sekedar menjelaskan kandungan hukum ayat contoh bila perawi mengatakan نزلت هذه الأية في
هكذا artinya “ayat ini turun
mengenai ini”. Redaksi ini dapat memunculkan interpretasi bahwa pernyataan itu
hanya ingin menjelaskan sebab turunnya ayat saja atau ingin menjelaskan
kandungan hukum.[11]
Dari sini dapatlah diketahui bahwa manakala terdapat dua redaksi
sabab nuzul berkenaan satu objek (objek yang sama ),salah satunya adalah teks sababiah
guna menurunkan satu atau beberapa ayat, sementara yang lain bukan dalam bentuk
teks sababiah bagi penurunan satu atau beberapa ayat itu. Maka solusinya
ialah harus mendahulukan nash sababiah, sementara yang lainnya
diasumsikan sebagai penjelasan bagi isi kandungan yang hendak dicapai oleh
ayat. Alasannya, mengingat teks dalam kaitan ini penyebutan kata sabab tentu
akan jauh lebih kuat dalam hal penunjukannya dibandingkan penunjukan atas dasar
kemungkinan (asumsi).[12]
5.
Konsep al ibaratu bi umumi lafad la bi khususi sabab
Dalam pandangan ini, apabila ada ayat yang turun sesuai dengan
sebab secara umum atau sesuai sebab secara khusus, maka yang umum (a’am)
diterapkan pada keumumannya dan yang khusu (khass) pada kekhususannya. Contoh
yang pertama bersifat umum dan diterapkan pada keumumannya ialah firman Allah
(Al-baqarah (2):222):
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا
النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا
تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ
التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: haid
adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari
wanita diwaktu haid dan janganlah kamu mendekati meraka sebelum mereka suci
maka campurilah wanita itu di tempat yang diperintahkan oleh Allah kepadamu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang
yang menyucikan diri. (Al-Baqarah (2) 222).
Anas berkata: “bila istri orang-orang yahudi haid, mereka
dikeluarkan dari rumah, tidak diberi makan dan minum dan di dalam rumah tidak
boleh bersama-sama. Lalu Rasulullah ditanya tentang hal itu, maka Allah
menurunkan : “Mereka bertanya kepadamu tentang haid”. Kemudian Rasulullah
berkata: “Bersama-samalah kalian dengan mereka di rumah, dan perbuatlah segala
sesuatu kecuali menggaulinya”.
Melihat kasus diatas mendeskripsikan akan keumumannya pemberlakuan
suatu hukum bagi seluruh suami dalam berintraksi dengan istrinya dikala haid
dan hanya dilarang menggauli istrinya dikala haid saja.
Contoh kedua bersifat khusus
dan diterapkan pada kekhususannya seperti pada surah (al-lail (92)17) وَسَيُجَنَّبُهَا الْأَتْقَى الَّذِي يُؤْتِي مَالَهُ
يَتَزَكَّى “Dan kelak akan dijauhkan
orang yang paling taqwa itu dari neraka, yang menafkahkan hartanya dijalan
Allah untuk membersihkannya”. Ayat ini diturunkan kepada Abu Bakar. Kata
al-atqa (orang yang paling bertaqwa) menurut tasrif berbentuk af’al untuk
menunjukkan arti superlatif, tafdil yang disertai al-adiyah (kata sandang yang
menunjukkan bahwa kata yang dimasukinya itu telah diketahui maksudnya),
sehingga ia dikhususkan bagi orang yang karenanya ayat itu diturunkan. Sehingga
boleh dikata bahwa ayat ini diterapkan kekhususannya pada Abu Bakar terlepas fungsi
Alquran itu sebenarnya tidak dikhususkan pada orang-orang tertentu.
Jika sebab itu khusus, sedangkan ayat yang
diturunkan berbentuk umum, maka para ulama’ berselisih pendapat: apakah
yang dijadikan pegangan itu lafal yang umum apa saba yang khusus?. Pertama,
jumhur ulama’ bahwa yang jadi pegangan adalah lafad yang umum dan bukan sabab
yang khusus. Dengan alasan bahwa hukum yang diambil dari lafal yang umum itu
melampaui bentuk sabab yang khusus sampai pada hal-hal yang serupa dengan itu.
Misalnya ayat li’an yang turun mengenai tuduhan Hilal bin Umayah kepada istrinya
yaitu pada surah (an-Nur (24):6-9.). hukum yang diambil dari ayat ini tidak
hanya mengenai Hilal, akan tetapi diterapkan pula pada kasus lainnya tanpa
memerlukan dalil lainnya. Yang kedua, segolongan uama’
berpendapat yang menjadi pegangan adalah sebab yang khusus, bukan lafal yang
umum; karena lafal yang umum itu menunjukkan bentuk sebab yang khusus. Oleh
karena itu, untuk dapat diberlakukan kepada kasus salain sebab diperlukan dalil
lain seperti qias dan sebagainya. Sehingga pemindahan riwayat sebab yang khusus
itu mangandung faedah dan sebab tersebut sesuai dengan musababnya seperti
halnya pertanyaan dengan jawabanya.
Kesimpulan
Asbabun Nuzul merupakan ilmu yang membahas perihal sabab nuzul dari
ayat Alquran. Ilmu ini tumbuh dan berkembang secara evolusi dan alamiah. Maksudnya,
berkembang sedikit demi sedikit dan tidak pernah direkayasa apalagi dipaksakan.
Konsep penurunan ayat Alquran didalamnya ada penyesuaian dengan sesuatu yang
melatarbelakanginya (turun dengan situasional). Yang pada dasarnya dibedakan ke
dalam dua bentuk. Pertama, sebagai jawaban atas pertanyaan dan permohonan
informasi secara formal maupun tidak formal yang diajukan siapa pun kepada Nabi
Muhammad Saw. Kedua, merespon suatu atau beberapa peristiwa yang telah maupun
yang akan terjadi ditengah-tengah masyarakat.[13]
Dilihat dari faedah akan keberadaan asbabun nuzul antara lain yaitu
dapat mengenali hikmah bagaimana cara Allah SWT. Menerangkan hukum dengan
melibatkan asbabun nuzul, mempermudah pemahaman dan pengokohan lintasan wahyu,
dan mengetahui secara jelas kepada siapa wahyu itu ditujukan.
Namun sayangnya, masih ada segelintir penafsir yang masih
mengkritik atau meragukan akan keotentikannya asbabun nuzul. Alasannya antara
lain karena perawi tidak meriwayatkan asbabun nuzul secara lisan dan tertulis,
melainkan dengan meriwayatkan suatu kisah yang kemudian menghubungkan Alquran
pada kisah tersebut. Dan boleh disimpulkan bahwa asbabun nuzul disebutkan atau
diriwayatkan hanya melalui pendapat bukan dari pencatatan yang langsung dari
zaman nabi.[14]
Daftar Pustaka
Manna khalil
al-Qattan, Mabahis fi Ulumil Alquran. Terj, Mudzakir AS.(Bogor: Litera
antar nusa 2012) Cet.3.
Muhammad Amin
Suma, Ulumul Qur’an. (jakarta: Rajawali Pers, 2014.)cet.2.
Abu Anwar, ULUMUL
QUR’AN Sebuah Pengantar, (AMZAN, juli, 2009).cet. 3.
Muhammad
Husain Thabathaba’i, AL-Quran fi Islam, ter, malik madany dan hamim ilyas.
(bandung: mizan, april, 2009).cet.1
Muchlis M
Hanafi,Asbabun Nuzul kronologi dan Sebab turun Wahyu Alquran, jakarta: lajnah
pentashihan Mushaf al-Quran,2015.
M. Quraish
Shihab dkk, Sejarah & ‘Ulum al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus,
2008
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, Tanggerang: Lentera
Hati, 2013
Al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Dar al-Fikr,
Muhammad Baqir Hakim, Ulumul Qur’an, Jakarta:
Al-Huda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar