Permulaan
penciptaan manusia dan keraguan malaikat akan kemampuan manusia
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا
أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ
الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي
أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ (30)
Ingatlah ketika tuhanmu berfirman kepada malaikat:
“sesungguhnya aku hendak menjadikan seseorang khalifah di muka bumi. Mereka
berkata:”Mengapa engkau hendak menjadikan
khalifah di bumi. Itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji engkau dan
mensucikan engkau? “tuhan berfirman;”sesungguhnya aku mengetahui yang tidak
kamu ketahui”.
Kosa
kata: خَلِيفَة mempunyai arti fa’il yaitu pengganti dari pihak
sebelumnya baik itu para malaikat maupun selain dari malaikat[1].
Yang dimaksud Pengganti (khalifah) yaitu berfungsi untuk pemimpin negara atau kaum dalam mengelola dan
memakmurkan bumi. juga dapat diinterpretasikan dengan pengganti dalam
menegakkan hukum menuju kemaslahatan bagi manusia.
Munasabah:
korelasi ayat ini dengan ayat-ayat sebelumnya adalah penjelasan tentang
kenikmatan di dunia ini berupa kehidupan yang awalnya mati dan dilengkapi
dengan keindahan langit yang tujuh . Sedangkan ayat ini berupa kenikmatan bagi
seluruh anak cucu Adam yang diberikan amanat kekhalifaan di muka bumi dan
tentunya itu merupakan tugas yang berat untuk dilakukan.
Dalam ayat ini, menarik untuk kita mentadaburinya karena di
dalamnya terdapat ayat yang subtansinya membicarakan tentang kejadian diawal
penciptaan manusia ditambah lagi ada sedikit pertanyaan dari malaikat yang
terkesan menyudutkan kemampuan manusia melihat pengalaman dari kondisi mahluk
sebelumnya yang dianggap gagal dalam menjaga bumi, terlepas dari itu, ini
merupakan suatu kabar yang baik dalam sejarah umat manusia mengingat ini
merupakan sejarah awal yang tidak akan terjadi untuk yang kedua kalinya. Selain
itu ayat ini merupakan bentuk pengagungan kepada Allah SWT dalam membuat pernyataan
yang tidak diketahui tujuan penciptaannya kecuali oleh Allah sendiri, dari
semua itu akan ada pembelajaran penting yang akan menemukan pada suatu
titik bahwa Allah mempunyai sifat
pengetahuan yang tanpa batas.
Menurut Ar-Razzi: kontek ayat di atas mengandung dua konsep.
Pertama, penciptaaan manusia. Kedua, pengagungan akan kebesaran Allah Swt. Dan
pendapat lain juga disampaikan oleh Prof.DR. Quraish Shihab.MA. bahwa ayat
diatas berbicara tentang penyampaian Allah Swt kepada malaikat menyangkut penciptaan
manusia dan tujuan penciptaannya. Yakni menjadi khalifah di dunia, serta
pertanyaan (bukan keberatan malaikat) tentang kemampuan manusia mengemban tugas
di bumi.
Dalam mengemban tugas ini, tentunya tugas yang dijalankan harus
bertujuan atau menyangkut kemaslahatan umat manusia sebagai mana yang tertera
dalam surah (QS al-Anbiya’(21)107) وَما أَرْسَلْناكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعالَمِينَ Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat
bagi semesta alam, walaupun kontek ayat
ini berbicara tentang nabi Muhammad namun ayat ini bersifat umum dalam
kegunaannya. Dalam artian semua manusia di dunia ini bertugas untuk mengemban
tugas khalifah yakni memberikan kedamain, keadilan, dan kesejahteraan.
Pengembanan tugas dari Allah untuk manusia masih diragukan oleh
malaikat mengingat mereka ahli dalam beribadah, selalu bertasbih dan tidak
pernah ada catatan kriminal selama menjadi malaikat[2].
Namun Allah menegaskan dalam firmannya “sesungguhnya aku mengetahui yang tidak kamu ketahui”. Taqdir dialektika ini menjadi bukti betapa maha
agungnya Allah atas segalanya, semuanya tidak mungkin Allah ciptakan tanpa
alasan, ilmu dan manfaat yang jelas.
Bukan hanya penegasan dengan ayat diatas saja, namun Allah juga
menjawab pertanyaan dan kesanggupan malaikat dalam kepantasannya mengemban
tugas khalifah di bumi, yaitu dengan pernyataan “sesungguhnya aku mengetahui yang tidak kamu ketahui”. Dengan pembuktikan yang akan dijelaskan ayat
selanjutnya.
Pembuktian akan kekhalifahannya Nabi Adam
وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ
أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (31) قَالُوا سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ (32) قَالَ يَا آدَمُ أَنْبِئْهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ
فَلَمَّا أَنْبَأَهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ إِنِّي
أَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَأَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا كُنْتُمْ تَكْتُمُونَ (33)
Dan dia mengajarkan kepada adam nama-nama (benda-benda)
seluruhnya. Kemudian mengemukakannya pada malaikat lalu berfirman: “sebutkanlah
kepada-ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang benar”. Mereka
menjawab, “Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah
Engkau ajarkan kepada kami. Sungguh, engkaulah yang maha mengetahui, maha
bijaksana.” Dia (Allah) berfirman,”Wahai Adam! Berikanlah kepada mereka
nama-nama itu!” Setelah Dia (Adam) menyebutkan nama-namanya, Dia
berfirman,”Bukankah telah aku katakan kepadamu, bahwa aku mengetahui rahasia
langit dan bumi, dan Aku mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu
sembunyikan?”.
Kosa kata: الْأَسْمَاءَ bentuk tunggalnya ism yaitu ciri pengenal sesuatu,
sedangkan untuk pengertian الْأَسْمَاءpada ayat ini adalah Asmaa’ul Musammayaat (nama
benda-benda).[3] Sedangkan Ibnu Abbas
berkata: Allah mengajarkan kepada Adam segala sesuatu sampai berupa mangkok dan
gayung[4].
Ini menunjukkan adanya keistimewaan yang diberikan Allah untuk nabi Adam berupa
pengetahuan yang belum diketahui oleh para malaikat. الْحَكِيمُ artinya
tidak melakukan suatu perbuatan kecuali dengan bijak atau tidak akan
menghukumi sesuatu kecuali dengan bijaksana. Sehingga tidak mungkin Allah
menciptakan tanpa adanya pertimbangan yang mendalam.
Munasabah: Ayat-ayat sebelumnya mengingatkan kita
fungsi dari adanya penciptaan nabi Adam, dialog malaikat dengan Allah dan
menampakkan akan keagungan Allah dalam menatakdirkan alam ini. Sedangkan pada
ayat ini Allah lebih mendiskripsikan proses setelah penciptaan nabi Adam yaitu
masih tentang perbincangan antara Allah, Malaikat dan nabi Adam, namun lebih dijabarkan lagi jawaban yang ditanyakan oleh
malaikat.
Pada intinya, kontek ayat diatas memberikan deskripsi
sekaligus kabar penting bahwa penciptaan nabi Adam yang dijadikan khalifah di
bumi bukan tanpa dasar apa-apa melainkan diberi bekal pengetahuan yang mendalam
guna mengemban tugasnya di bumi. Dan sekaligus memberi bukti kepada malaikat
akan rahasia Allah Swt dalam menciptakan nabi Adam atas pertanyaannya yang
sempat ditanyakannya. Dan ketika itu pula, Allah menunjukkan ketinggian dan
kebesarannya dalam segala hal.
Menurut Quraish Shihab ayat ini bertujuan untuk
menjawab pertanyaan malaikat akan penciptaan nabi Adam yang sedikit menjanggal
bagi malaikat. Jawabannya berisikan penampakan potensi-potensi yang
dianugerahkannya kepada manusia khususnya potensi tentang pengetahuan.[5]
Lalu Allah memberikan kesempatan sekaligus menyindir malaikat untuk menyebutkan
apa yang Allah tunjukkan seraya berfirman:” sebutkanlah kepada-ku nama
benda-benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang benar”. Kata-kata shadiqin
merupakan sindiran buat malaikat yang merasa dirinya benar dan lebih pantas.
Dan ternyata malaikat pun tidak berkutik disaat Allah memerintahkan untuk
menyebutkan nama-nama yang diajarkannya kepada nabi Adam. Malaikat pun hanya
bisa berkata:”Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang
telah Engkau ajarkan kepada kami. Sungguh, engkaulah yang maha mengetahui, maha
bijaksana.”
Bentuk perkataan malaikat ini, memberikan gambaran
bahwa para malaikat telah menyesal dan tidak akan lagi membantah. Sekaligus
sadar bahwa tidak ada suatu yang sia-sia dari segala yang diciptakan oleh
Allah. Dan ini suatu kebenaran hakiki bahwa Allah tidak akan berkehendak
melakukan apapun itu tanpa adanya pertimbangan dan kebijaksanaan. Allah pasti
menciptakan segala sesuatu ada manfaatnya. Khususnya penciptaan manusia ini,
yang nota bena akan menjadi khalifah pemakmur dan pensejahtera di muka
bumi.
Sombonng dapat mengantarkan kepada kekafiran
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ (34)
Dan (ingatlah) ketika kami berfirman kepada
malaikat,”Sujudlah kamu kepada Adam!”. Maka merekapun sujud kecuali iblis. Ia
menolak lalu menyombongkan diri, dan Ia termasuk golongan yang kafir.”
Kosa kata: اسْجُدُوا berasal
dari akar kata سجد yang punya arti tunduk (خضوع) atau rendah diri.
i’rob: اسْجُدُوا merupakan
kalimat fi’il (fi’il amr) yang di mabni atas terbuangnya nun.
واو
berfungsi sebagai fa’il, sedangkan secara posisi keseluruhan menjadi maf’ul
bih.
Munasabah: ada yang terindikasi dalam ayat ini yang mengandung
konsep ketuhanan dalam bentuk rububiyah. Yaitu perintah bersujud kepada
Adam, perintah ini ada unsur bentuk ketaatan kepada tuhan dalam bentuk ibadah
ketika dijalankan oleh malaikat dan jin. Namun kenyataannya, perintah ini
dilanggar oleh iblis. Ketidaktaatan iblis untuk bersujud kepada nabi Adam ini
membuatnya menjadi kafir.
Tafsir:
Perintah sujudnya (penghormatan) Malaikat kepada Nabi Adam
merupakan suatu keistimewaan yang diberikan oleh Allah untuk umat manusia.
Sekaligus menguji terhadap malaikat seberapa loyalnya mereka kepada Allah. Dan
perintah itu dijalankan oleh malaikat dengan rasa hormat dan patuh, tanpa ada
unsur penolakan maupun keterpaksaan walaupun pada saat pertama pengkabaran akan
penciptaan Nabi Adam sedikit ada komentar dari mereka.
Menariknya, perintah itu tidak dijalani oleh iblis yang justru
menganggap dirinya lebih mulia karena diciptakan dengan api seperti yang
tertera dalam Surah Al-A’raf ayat 12. Ini sudah menjadi bukti bahwa penolakan
setan merupakan tindakan yang tidak mengindahkan perintah Allah.
Pada saat itulah setan (iblis) dikatakan Istiikbar
(menyombongkan diri) yang menerut Muhammad Ali As-Shabuni: sombong dan
mengagungkan diri. (Muhammad Ali As-Shabuni, 1997. Hal. 34). Sifat ini yang
perlu dihindari oleh para muslimin mengingat ayat tadi yang merupakan cerminan
buruk dari iblis. Apalagi menyombongkan diri kepada Allah. Yang pada akhirnya
mengantarkan manusia siapa saja menjadi kafir akibat kesombongannya.
Memahami
perintah tuhan
وَقُلْنَا يَا آدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلَا مِنْهَا رَغَدًا
حَيْثُ شِئْتُمَا وَلَا تَقْرَبَا هَذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ (35)
Dan kami berfirman :”Wahai Adam! Tinggallah engkau dan istrimu di
dalam surga, Dan makanlah dengan nikmat (berbagai makanan) yang ada disana
sesukamu. (tetapi) janganlah kau dekati pohon ini. Nanti kamu termasuk
orang-orang yang zalim.
Kosa kata: اسْكُنْ berasal dari kata سكن yang artinya tinggal di suatu tempat, kalau dilihat di kamus al-Ma’ani
artinya anatara lain: menempati, mendiami menjadi tenang, dingin, diam,
reda, sedangkan kata لَا تَقْرَبَا bentuk dari fi’il nahi (larangan) berasal dari kata قرب yang
artinya mendekat, hampir, mengira-ngira dan mendekatkan.
Munasabah:
perintah untuk menempati surga merupakan bentuk dari kenikmatan yang diberikan
Allah untuk Nabi Adam, namun sayangnya tidak boleh mendekati pohon terlarang
biar tidak menjadi dholim. Jadi itulah korelasi ayat yang dilihat dari kata
per-kata pada ayat ke 35.
Tafsir
: Allah maha pengasih dan maha penyayang kepada seluruh mahluknya, termasuk
kepada Nabi Adam. Salah satunya dengan kasih sayang berupa penempatan di surga
beserta istrinya, hawa. Tentunya perintah itu tidak ditolak oleh Nabi Adam,
justru mengimaninya selain karena ketaatan Adam kepada Allah dan memang surga
adalah tempat yang sangat indah yang tidak bisa dibayangkan oleh manusia.
Ada
alasan tersendiri, mengapa Allah melarang kepada Nabi Adam untuk mendekati
pohon itu yang sebagian ulama’ menginterpretasikan dengan pohon huldi. Ini
menjadi ujian tersendiri bagi Nabi Adam dalam menjalani kehidupan di Surga, sekaligus
menguji kualitas keimanannya kepada
Allah, seberapa besar keimanannya kepada Allah. Apakah sanggup atau tidak. Jika
tidak, maka Nabi Adam akan seperti iblis, yaitu mendhalimi diri sendiri
mengingat semua perbuatan kita akan dipertanggung jawabkan di Akhrat.
Terjerumusnya Nabi Adam dan pertaubatannya
فَأَزَلَّهُمَا الشَّيْطَانُ عَنْهَا فَأَخْرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا
فِيهِ وَقُلْنَا اهْبِطُوا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ وَلَكُمْ فِي الْأَرْضِ
مُسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ إِلَى حِينٍ (36) فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ
التَّوَّابُ الرَّحِيمُ (37)
Lalu setan memperdayakan keduanya dari surga sehingga kedua
dikeluarkan dari (segala kenikmatan) ketika keduanya disana (surga). Dan kami
berfirman,”Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain. Dan bagi
kamu ada tempat tinggal dan kesenangan di bumi sampai waktu yang ditentukan.
Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari tuhannya, lalu dia pun menerima
tobatnya. Sungguh, Allah maha menerima tobat, maha penyayang.
Kosa kata: فَأَزَلَّهُمَا akar katanya dari kata زلّ yang artinya tergelincir, terpeleset
tersandung, keliru. فَتَلَقَّى akar kata dari تلقّى yang artinya menerima. تَابَ menerima
taubat atau mengampuni.
Munasabah:
ayat ini menjelaskan tentang keberhasilan setan dalam memperdaya, menipu dan
menggoda Nabi Adam hingga dikeluarkan
dari surga, sedangkan ayat setelahnya meneruskan kelanjutan yang terjadi pada
Nabi Adam, yaitu pertobatan Nabi Adam akan kesalahannya dan itupun diterima
oleh Allah.
Tafsir:
Rayuan setan tidak akan ada ujungnya. Korbannya adalah Nabi Adam. Godaan setan
ini semakin menampakkan keaslian sikapnya yang tidak suka terhadap Nabi Adam
padahal Allah menyuruhnya untuk hormat kepadanya.
Keberhasilan
setan dalam merayu nabi adam agar mendekati dan memakan buah huldi, membuat
Nabi Adam dan istrinya harus keluar dari surga. Sebenarnya Nabi Adam sangat
ta’at kepada Allah namun itulah manusia pasti mempunyai salah dan lupa.
Ditambah lagi dengan rayuan setan yang sangat menipu. Secara akidah, Nabi Adam
sudah jelas meyakini akan adanya Allah begitu juga dalam ibadah kepadanya.
Namun Inilah rencana Allah yang perlu diambil hikmahnya bahwa kita harus
waspada dari godaan dan tipuan setan dalam setiap waktu agar tetap beriman dan
beribadah kepadanya sekaligus menjauhi larangannya.
Pada
ayat 37, Nabi Adam diterima taubatnya oleh Allah, ini bukti bahwa Nabi Adam
merupakan hamba yang ta’at dan taqwa. Mengakui kesalahannya dan meminta ampun
kepada Allah. Inilah bedanya Nabi Adam dengan iblis, Nabi Adam tidak
menyombongkan diri apalagi pada saat melakukan kesalahan, justru yang ada Nabi
Adam bertaubat dan meningkatkan amal ibadahnya.
Janji Allah pada hambanya
قُلْنَا اهْبِطُوا مِنْهَا جَمِيعًا فَإِمَّا
يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنْ تَبِعَ هُدَايَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (38)
وَالَّذِينَ كَفَرُوا وَكَذَّبُوا بِآيَاتِنَا أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (39)
Kami berfirman,”Turunlah kamu semua dari surga! Kemudia jika
benar-benar datang petunjukku kepadamu,
maka barang siapa mengikuti petunjukku, tidak ada rasa takut pada mereka dan
mereka tidak bersedih hati.”Adapun
orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat kami, mereka itu penghuni
neraka. Mereka kekal di dalamnya.
Munasabah:
pengusiran yang terjadi pada Nabi Adam, istrinya dan iblis ke dunia, mendapat
tantangan dari Allah agar tetap ada di jalan yang lurus, teguh mencari dan
mengamalkan petunjuknya, sedangkan ayat selanjutanya juga terkait masalah
tantangan agar tetap berada di jalan yang lurus, tidak kafir dan mengingkari
ayat-ayatnya.
Tafsir:
ada sesuatu yang menarik pada ayat ini, khususnya terkait masalah ketaatan seorang hamba kepada tuhannya. Yaitu Allah
dengan Nabi Adam, istrinya dan iblis. Menariknya terletak pada pengusiran yang
berakibat kepada tiga hamba tadi, padahal yang salah Nabi Adam dan istrinya,
namun iblis ternyata disuruh keluar juga ( memang sudah melakukan kesalahan
yang berupa rayuan kepada Nabi Adam dan Istrinya.
Ketiga
hamba tadi, dengan taatnya langsung melakukan perintah tersebut, bedanya setan
tidak akan mendapat ampun dari Allah sedangkan Nabi Adam dan istrinya masih
punya harapan untuk itu, sehingga Allah memberikan peringatan bahwa siapa saja
yang tetap teguh ada di jalannya maka akan selamat namun jika tidak, apalagi
kafir dan mengingkari nikmatnya dan ayat-ayatnya maka akan masuk neraka jahanam.
[2]
kontek ayat ini mengandung kontrofersi. Ini ditimbulkan dari adanya alif
istifham di lafad أَتَجْعَلُ yang
mengandung banyak pengertian. Ada yang mengartikan sebagai komplenan dari para
malaikat terhadap Allah akan penciptaan manusia yang dikhawatirkan akan merusak
eksistensi bumi mengingat mahluk sebelumnya merusak bumi dengan dosa-dosa.
Namun ada yang berpendapat itu sekedar pertanyaan (bukan keberatan malaikat)
dimana pertanyaan itu timbul yang menurut pendapat wahbah zuhaili disebabkan
karena sudah adanya pengkabaran dan informasi lain tentang manusia dari Allah
sebelumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar