Makalah kitab tafsir al-samarqandi
BAB
1
Pendahuluan
A. Latar belakang masalah
Memahami
esensi dari sebuah kitab tafsir sangatlah diperlukan. Baik masalah corak
penafsirannya, pendekatan yang diambil dan gaya bahasa yang dipakainya. ada
yang pendekatannya memakai pendekatan bahasa, ada juga yang corak penafsirannya
lebih dominan diriwayat walau kadang diselipi tafsir yang menjelaskan tentang
ilmu Qira’at. Sebut saja tafsir Bahr al-Ulum karangan al-Samarqandi, tafsir ini
lebih condong menggunakan metode riwayat untuk menafsirkan Al-Qur’an.
Sangat penting
bagi kita untuk mengkaji terlebih dulu metodologi atau pendekatan yang
diterapkan oleh al-Samarqandi (yang secara garis besar lebih kepada riwayat). Soalnya
tidak menutup kemungkinan adanya pendekatan lain dalam tafsir tersebut. Atau
kita kaji (walau melalui pendapat ulama’ tentang kitab itu) seberapa kuat
riwayat yang dipakai oleh al-Samarqandi. Bisa jadi konsep riwayat yang dipakai
masih lemah atau dari riwayat yang tidak jelas.
B.
Rumusan masalah
1.
Biografi
penulis yaitu al-Samarqandi
2.
Metodologi
penafsiran dan sistematika penyajiannya.
3.
Contoh
penafsiran dan Pandangan ulama tafsir lainnya tentang tafsir Bahr al-Ulum
BAB
II
Pembahasan
A. Biografi Penulis
Pengarang
tafsir Bahr al-Ulum mempunyai nama lengkap “Abu al-Laits Nashr bin Muhammad bin
Ahmad bin Ibrahim al-Samarqandi.[1]
Beliau mempunyai nama-nama julukan antara lain al-Faqih. Al Faqih yang
menandakan bahwa beliau telah sampai pada derajat yang tinggi dalam dunia ilmu
Fiqih yang mana pada saat itu tiada seorangpun yang dapat menyamainya pada
zamannya. Beliau begitu menyukai julukan tersebut dan beliau juga tabarrukan
dengan julukan tersebut, di karenakan julukan tersebut diberikan langsung oleh
Nabi Saw melelui mimpi beliau. Hal itu terjadi ketika beliau mengarang kitab
“Tanbihul Ghafilin” lalu beliau membawa kitab tersebut untuk sowan ke
Raudlahnya Nabi Saw setelah itu beliau menginap di sana, kemudian beliau
bermimpi melihat Nabi Saw mengambil kitabnya seraya berkata “Ambillah kitabmu,
Wahai Faqih”. Lalu beliau pun terjaga dan beliau menemukan di dalam kitabnya
tempat-tempat yang di koreksi Nabi. Dan
julukan yang lainnya yaitu Imam al-Huda.
Beliau yang dikenal sebagai seorang fakih, muhaddis, dan mufassir ini
dilahirkan di desa Samarqan, Uzbekistan, salah satu kota besar di Khurasan.
Namun, tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, hanya dikatakan sekitar
abad IV H, yakni antara tahun 301 H – 310 H. Beliau sangat dikenal dengan
kata-katanya yang selalu mengandung hikmah dan karya-karyanya yang cukup
terkenal.
Beliau
dilahirkan di Samarkand yang merupakan salah satu kota dari Khurasan, sekarang
masuk dalam daerah Uni Soviet,[2]
ada pula yang mengatakan bahwa kota itu termasuk bagian Arab, Samarkand merupaan
kota yang besar beserta beberapa iklim di dalamnya. Kota ini juga menjadi
kiblat bagi para pelajar yang haus akan ilmu pengetahuan, karena banyak dari
fuqaha’ , mutasawwif yang pergi kesana. Sehingga pada saat itu Samarkand
menempati tempat tertingi di antara negara-negara Islam dalam hal keilmuan.
Mazhab yang
dianut oleh beliau adalah mazhab hanafi,[3] oleh
karenanya beliau melakukan perjalanan ke kota Balkh dan berguru kepada beberapa
guru yang ternama, antara lain ; Abu Ja’far al-Handawani (w. 326 H), Muhammad
bin al-Fadhl al-Balkhi seorang mufassir (w. 319 H). Khalil bin Ahmad bin
Isma’il (w. 368 H) dan Muhammad bin al-Hasan al-Haddadi (w. 388 H).
Beliau wafat pada malam Rabu, 11 Jumadil Akhir 395 H, dan dimakamkan di kota
Balkh berdampingan dengan guru utamanya Abu Ja’far al-Handawani. Beliau
mempunyai murid-murid antara lain; lukman al-Farghani dan Na’im al-Khatib Abu
Malik.[4]
Di antara
karya-karyanya:
1. Khizanah
al-Fiqh (tercetak)
2. Tanbih
al-Ghafilin fi al-Wa’zh wa al-Akhlaq wa al-Ta’ammul (tercetak)
3.
al-Nawazil fi al-Fatawa
4. Ta’sis
al-Nazhahir al-Fiqhiyyah
5. ‘Uyun
al-Masa’il Furu’ al-Fiqh al-Hanafi (tercetak)
6. Bustan
al-‘Arifin (tercetak)
B. Gambaran umum tafsir Bahr al-Ulum
Kitab
tafsir ini mencakup seluruh ayat-ayat al-Qur’an dicetak pertama kali oleh
Lajnah al-Wathaniyah, Baghdad, pada awal 15 H. Kemudian diterbitkan lagi oleh
al-Irsyad, Riyadh, pada tahun 1405 H/1985 M, dan ditahkik oleh Dr. Abd al-Rahim
ahmad al-Zuqqah. Lalu penerbitan berikutnyadi Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
Beirut.
Al-Laits al-Samarqandi menghimpun didalam
kitabnya dua pendekatan, yakni bi al-riwayah dan bi a-dirayah. Namun secara
umum beliau menggunakan metode tafsir bi al-riwayah. Beliau juga terkadang
mengutip pendapat para sahabat dan ahli-ahli bahasa. Sementara untuk al-ashab
al-nuzul beliau mendasarkan pada kitab-kitab sejarah, didalam kitab ini juga
dibicarakan nasikh-mansukh dan ilmu qira’at.
Secara umum al-Samarqandi tidak
menjelaskan karakteristik penafsirannya, baik di bab muqaddimahnya maupun di
beberapa penafsirannya, kecuali beliau hanya memulainya dengan memberi dorongan
agar mempelajari tafsir. Di dalam bab ini disebutkan beberapa hadits shahih
tafsir, syarat-syarat seorang mufassir, dan larangan menafsirkan dengan ra’yu,
baru kemudian beliau menafsirkan ayat-ayat, yang dimulai dari surah al-Fatihah.
Dalam penafsirannya, beliau berpedoman
pada para sahabatdan tabi’in, seperti Ibn ‘Abbas, Ibn Mas’ud, Ubay bin Ka’ab,
Mujahid bin Jabr, Hasan al-Bashri, dan lain-lain.
Dalam bentuk tafsir naqli, beliau banyak
menyandarkan kepada pakar-pakar tafsir, seperti Muqatil bin Sulaiman, Qatadah
bin Da’aman. Sedangkan dari sisi bahasa, beliau menyandarkan pendapatnya kepada
al-Zajjaj, al-Farra’, Ibn Qutaibah al-Dinawari, dan Abi ‘Ubaidah Ma’mar bin
Mutsanna.
C. Karakteristik kitab Bahr al-‘Ulum
Sebagai
tafsir yang bercorak riwayat, tafsir al-Samarqandi termasuk tafsir tahlily
dengan demikian, operasional dalam tafsirnya menggunakan sumber-sumber dan pendekatan yang digunakan dalam
penafsirannya.
a. Sumber-sumbernya
adalah :
1.
Menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, karena
suatu asumsi dasar bahwa al-Qur’an yufassiru ba’duhu ba’dan. Dalam hal
ini, Al-Suyuthi berpendapat bahwa barang siapa yang ingin menafsirkan
al-Qur’an, yang pertama harus dilihat adalah al-Qur’an karena tidak ada sebuah
penafsiran yang paling akurat keculi dengan al-Qur’an.[15] Seperti disebutkan
dalam al-Qur’an :
والذين آمنوا
وعملوا الصالحات سندخلهم جنات
Menurut Abu al-Laits ayat di atas
ditafsirkan dengan ayat :
مثل الجنة التى
وعد المتقون فيها انهار من ماء غير آس .......
2. Sumber
kedua dalam menafsirkan al-Qur’an adalah hadis. Menurut abu al-Laits bahwa
bilamana tidak ditemukan penjelasannya dalam al-Qur’an, maka sebagian
penjelasan diambil dari hadis.
3. Sumber
ketiga adalah perkataan sahabat. Di antara sahabat yang banyak dinukil oleh Abu
al-Laits adalah Ali bin abi Thalib, Umar bin Khattab, Ubay bin Ka’b, Ibnu
Abbas, Jabir bin Abdullah, Abdullah bin Zubair dan sahabat yang lainnya.
4. Sumber
keempat adalah perkataan tabi’in. Di antara mereka yang dijadikan sumber tafsir
di kalangan tabiin adalah al-Hasan, Said
bin Jubair, Atha’, ‘Ikrimah, Wahab bin Munabbih, al-Suddy, Muqatil, dan sumber
paling banyak diambil dari Mujahid.[5]
Metodologi
yang diterapkan oleh al-Samarqandi adalah dengan mendasarkan pada
riwayat-riwayat, baik yang bersumber dari Nabi, sahabat dan tabi’in. Beliau
memulai penafsirannya dengan menjelaskan kandungan umum surah, tempat
turunnya, keutamaannya, dan hukum-hukumnya, termasuk yang terkait dengan bahasa
dan sastra, jika memang ada, begitu juga asbab al-nuzul dan ilmu qira’at.
Abu Al-laits dalam
menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an digunakan beberapa pendekatan berupa ilmu-ilmu yang berkaitan dengan ilmu tafsir,
karena hal itu sangat diperlukan dalam menafsirkan al-Qur’an. Di antaranya
adalah:
1. al-Lughawy
Bahasa mempunyai peranan penting
dalam menafsirkan al-Qur’an, karena bagaimana mungkin lahir sebuah penafsiran
yang akurat tanpa didasari dengan pengetahuan bahasa Arab. Oleh karenanya, Abu al-Laits
menyatakan bahwa tidak boleh seseorang menafsirkan al-Qur’an dengan pendapatnya
sendiri sebelum mengenal dan mengetahui bahasa Arab dan asbab al-nuzul.[18]
Dalam aspek kebahasan ini Abu
al-Laits memeperhatikan beberapa hal, yaitu dari segi makna lafaz, jika tidak
ditemukan makna dari al-Qur’an maka kembali kepada kalam Arab atau syair yang
berkaitan dengan kata itu. Disisi lain pula dari aspek kebahasaan ini adalah
aspek nahwu, sharaf dan balagahnya.
2. Ulum al-Qur’an
Tentang ulum al-Qur’an ini dalam pengantar
kitabnya dia membagi kepada bebarapa bagian, yaitu:
Pertama, mengenai qira’at.
Abu al-Laits sangat
memperhatikan qiraat sampai dia mengemukakan beberapa qira’at dengan
menyebutkan argumen masing-masing, kemudian terkadang menguatkan salah satunya
atau menggabungkan keduanya, misalnya dalam Qs. Al-Baqarah 2: 59 “ وقلو خطة“ Kata
“khiththah” ada yang membacanya dengan rafa’ dan yang lainnya membaca nasab,
menurutnya bahwa pendapat kedua adalah syaz. Dan yang paling kuat adalah
rafa’.[19]
Kedua, al-Nasikh al-Mansukh.
Dalam persoalan ini terdapat
perbedaan ulama dalam menyikapinya, akan tetapi Abu al-Laits tanpaknya tetap
mamahami bahwa dalam al-Qur’an ada al-nasikh wa al-mansukh, baik dalam bentuknya
al-Qur’an bil al-Qur’an maupun dalam bentuk al-Qur’an bil al-hadis, misalnya
dalam QS al-Nisa 15, menurutnya ayat ini dinasihk dengan hadis yang
diriwayatkan oleh Muslim dari Ubadah bin Shamith, sesungguhnya Nabi bersabda:
Allah telah menjadikan baginya (perempuan yang berzina) jalan, yaitu perjaka
dengan gadis dipukul dengan 100 kali, al-sayyib dengan al-sayyib dirajam dengan
batu.
Ketiga, asbab al-Nuzul,
Asbab al-nuzul adalah salah satu
alat yang sangat penting dalam memahmi ayat al-Qur’an, karena terkadang dalam
satu ayat itu memiliki sebab turunnya, sehingga bila seseorang tidak memahami
sebab turunnya tentu pemahamannya pasti keliru. Dengan demikian, tentunya juga
Abu al-Laits sangat memperhatikannya dalam menafsirkan ayat yang ada asbab
al-nuzulnya.
Keempat, masalah fiqhi.
Sebagaimana telah diosebutkan
terdahulu bahwa Abu al-Laits memiki gelar “al-faqih” sudah barang tentu dia
memiliki ilmu yang sangat mendalam tentang fikh. Dan fikhnya bercorak Hanafy,
akan tetapi meskipun bermazhab Hanafi dia tidak memihak kepada corak fikhinya
dalam penafsirannya. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam Qs. Al-Baqarah 222,
yang menjelaskan boleh tidaknya perempuan yang sudah haid digauli sebelum mandi
wajib. Ayat ini bila dibaca dengan “يطهرن “
dengan tasydid huruf tha dan ha maka berarti samapi suci dari haid. Jadi boleh
mendekatinya sebelum dia mandi. Akan tetapi bila dibaca dengan “يطهرن” tanpa tasydid bermakna sampai dia mandi. Jadi baru
boleh dodekati bila dia sudah mandi wajib.
Abu al-Laits dalam kasus ini menerima
kedua pendapat ini dengan alasan bahwa apabila perempuan masa haidnya kurang
dari sepuluh hari maka tidak boleh didekati sebelum mandi wajib, akan tetapi
bila masa haidnya lebih dari sepuluh hari lalu dia bersih, maka ketika bersih
boleh didekati tanpa mandi wajib dulu.
D. Analisis terhadap metode tafsir Abu
al-Laits dalam Qs. Al-Fatihah 1-7
Dalam sub bahasan ini pemakalah
akan menganalisa penerapan tafsir Abu al-Laits dalam Qs. Al-Fatihah, yang
tentunya dalam penerapannya berdasarkan kepada metode yang telah
diperpeganginya. Akan tetapi menurut pemakalah bahwa tidak kesemuanya metode
yang telah dikemukakannya diterapkan
dalam kasus surah Al-fatihah.
Sebagaimana dengan mufasir lainnya,
Abu al-Laits dalam memulai tafsirnya ini hampir sama dengan mufasir sebelumnya,
yaitu terlebih dahulu mengemukakan nama surah, tempat turunnya dan jumlah
ayatnya.
Dalam kasus surah
al-Fatihah berbeda dengan yang lainnya. Dia
pertama-tama dia memulai tafsir dalam pembahasan khusus tentang
basmalah, dia memishkan dengan surah al-Fatihah, meskipun basmalah itu tetap
dikategorikan sebagai satu dari surah al-Fatihah.
Dalam uraian tafsirnya
tentang basmalah itu berdasarkan sebuah riwayat
dari ‘Am³r dia berkata: bahwa Rasulullah menulis sebuah surat dengan
memulai dengan kata “باسمك اللهم “, maka turunlah ayat ke-41 surah Hud “ بسم الله مجريها ومرسيها “ maka digantilah dengan kata “bismillah” setelah itu turunlah ayat ke- 110 surah Bani
Israil : “قل أدعوا
الله أدعوا الرحمن “
maka ditambahlah dengan kata “الرحمن “
kemudian turunlah ayat ke-30 surah al-Naml : “إنه من سليمان وإنه
بسم الله الرحمن الرحيم “
maka disempurnakanlah dengan kalimat bismillah ini. Berdasarkan riwayat ini
bahwa bismillah itu tidak semua diawal surah itu merupakan ayat dari surah
tersebut.
Kemudian menjelaskan
tentang perlunya basmalah itu dibaca setiap kali ingin melakukan sesuatu
pekerjaan dan mamfaatnya dengan berdasarkan riwayat-riwayat.
Memasuki penafsiran
al-Fatihah Abu al-Laits tidak menjelaskan lagi bagaimana kedudukan basmalah itu
dalam surah al-Fatihah, meskipun dalam surah ini tetap menganggap basmalah itu
sebagai ayat pertama. Dan dia hanya langsung menjelaskan mengenai tempat
turunnya, apakah di Mekah atau di Madinah. Di sini Abu al-Laits mengemukakan
beberapa riwayat, yaitu dari Mujahid, yang menurutnya bahwa surah ini turun di
Madinah, sementara yang lainnya (Abu
Salh dari Ibn Abbas) menyebutkan bahwa turun di Mekah, dan ada juga pendapat
bahwa surah ini dua kali turun, sekali turun di Mekah dan sekali tururn di
Madinah.
Dari argumen yang dikemukakan oleh
Abu al-Laits di atas tidak menetapkan salah satu pendapat yang lebih kuat, dia
hanya memaparkan riwayat-riwayat begitu saja tanpa ada suatu analisa.
Kemudian Abu al-Laits menjelaskan
nama selain dari surah al-Fatihah dengan mengemukakan beberapa riwayat. Salah
satu riwayat yang disebutkan dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda:
‘sesungguhnya Allah menurunkan dalam kitab-Nya satu surah kepada Nabi, kemudian
Uba’y bi Ka’ab ditanya tentang surah itu. Lalu dia bertanya apakah yang anda
baca dalam shalatmu? Di jawab Umm al-Kitab kemudian Nabi berkata bahwa demi
Allah tidak ada yang diturunkan dalam Taurat dan Injil sepertinya, yaitu
al-sab’u al-matsani dan al-Qur’an al-‘Azim. Dan dinamakan al-sab’u
al-matsani karena dibaca setiap raka’at
shalat.
Setelah menjelaskan nama dan tempat
turunnya, Abu al-Laits memulai panafsirannya ayat demi ayat dengan beberapa
pendekatan:
1. Pendekatan Atsar
Sebagaimana yang telah disebutkan bahwa
tafsir Abu al-Laits adalah sebuah tafsir yang memiliki corak bil al-ma’tsur
yang sebagai acuannya dalam menafsirkan ayat. Namun menurut penelitian penulis,
sekalipun tafsirnya dikategorikan sebagai tafsir bil al-ma’tsur, tidak semuanya
ayat yang ditafsirkan berdasarkan riwayat, bahkan dalam satu ayat tidak
dikemukakan riwayat.
Dalam kasus al-Fatihah ini, misalnya ketika
menafsirkan kalimat al-hamdu lillah Abu al-Laits hanya mengemukakan beberapa riwayat saja, di antaranya adalah
dari Ibn Abbas, yaitu bahwa kalimat ini bermakna semua bentuk syukur, hal ini ketika Adam
bersin dia mengucapkan “al-hamdu Lillah”
lalu Allah menjawabnya “yarhamkum
Allah”. Hadis ini hanya sebagai penguat ketika menjelaskan penggunaan kata-kata
antara lafaz al-hamd dengan al-syukr.
2. Pendekatan Kebahasaan
Pendekatan ini dapat dibuktikan ketika
menafsirkan kalimat “alhamd Lillah” menurtnya bahwa kalimat ini bermakna
“al-Sykr Lillah” pendapat ini sejalan
yang dikemukakan oleh Ibn Abbas, yaitu syukur kepada Allah atas segala
nikmat-Nya.[6]
Menurut ahli bahasa bahwa kata ini (al-hamd)
sama artinya dengan al-syukr, akan tetapi sebagian yang lainnya tetap
membedakan pengertian keduanya. Kata al-hamd
lebih umum dari kata al-syukur, yang lainnya berpendapat bahwa kata
al-syukr lebih umum dari kata al-hamd, karena kata al-syukur digunakan baik dalam
bentuk kata-kata maupun dalam bentuk perbuatan, sementara al-hamd hanya dalam
bentuk biasa.
Menurut Quraish Shihab bahwa ada tiga hal
yang harus dipenuhi oleh orang yang dipuji, sehinga dia atau perbuatannya layak
dipuji, yaitu, indah, diperbuat secara sadar dan tidak dipaksa. Jadi kata
al-hamd dalam surah al-Fatihah ditujukan kepada Allah.
3. Pendekatan Qiraat
Sebagaiman telah dijelaskan bahwa Abu
al-Laits dalam menafsirkan ayat sangat memperhatikan qiraat-qiraat jika dalam
ayat tersebut terdapat perbedaan qiraat dengan mengemukakan pendapat
masin-masing ahli qiraat.
Misalnya dalam ayat ke4 dan ke-6, menurutnya
bahwa ayat ke-4 terdapat dua bacaan, yaitu ada yang membaca dengan memanjangkan
huruf mim-nya “مالك” dan kedua
dengan memendekkan mim-nya “ملك”.
Bacaan ini didasarkan beberapa riwayat yang shahih. Ulama yang membaca tanpa
alif seperti Nafi’, Ibn Kasir, Hamzah, Ibn Amar bi Al-Ala’ dan Ibn Amir dengan
makna ‘raja’. Sementara yang membaca dengan alif yaitu al-Kisai dengan
mengartikan ‘pemilik’.
Abu al-Laits dalam menyikapi kedua pendapat
ini, agaknya condong kepada pendapat kedua sekalipun pada awalnya dia membaca
tanpa alif, akan tetapi dengan motivasi salah satu hadis Nabi, bahwa siapa saja
yang memabaca al-Qur’an maka baginya setiap huruf sepuluh kebaikan.
Salah satu
ulama’ yang sudah mengkaji dan memberikan komentar tentang tafsir Bahr al-Ulum
adalah Al-Dzahabi, dalam kitabnya
al-Tafsir wa al-mufassirun berkata , “Ketika saya meneliti tafsir ini, saya
temukan pengarangnya menggunakan tafsir bi al-ma’tsur, sebagai mana yang
ditetapkan oleh ulama’-ulama’ salaf. Ia mendasarkan penafsirannya kepada
riwayat-riwayat, dari sahabat, dan mufassir-mufassir setelahnya. Hanya
saja, ia tidak atau jarang sekali menyebutkan perawinya, berbeda dengan Ibn
Ja’far al-Thabari. Dia juga menyebutkan qira’atnya tetapi hanya sekedarnya
saja, sebagaimana ia juga terkadang menyinggung sisi kebahasaannya. Dalam
menafsirkan ayat, ia juga menggunakan metode tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an jika
memang terdapat ayat lain yang menjelaskan ayat yang sedang ditafsirkan
tersebut.
Al-Samarqandi, di dalam penjelasan sisi
kebahasaan, menyandarkan kepada para pakar bahasa. Dalam satu penelitian
menunjukkan bahwa al-Laits tidak menyertakan perawinya setiap kali ia
menyebutkan riwyat-riwayat sebagaiman yang lazim dikenal dalam penafsiran bi
al-ma’tsur, seperti yang dilakukan oleh al-Thabari. Hanya saja al-Laits telah
menjelaskan alasan di al-mukaddimah kitabnya, Bustan al-‘Arifin, kenapa ia tidak
menyebutkan perawinya, ia berkata:
“Saya
sengaja membuang sanad-sanad haditsnya,untuk mempermudah para pembacanya,
meringankan para pengkajinya, serta demi kemanfaatan yang lebih luas…”
Pertanyaan al-Laits tidak bisa secara mutlak
dipahami sebagai sikap ketidakpedulian beliau terhadap penyebutan nama-nama
perawi. Sebab, dibeberapa tempat, beliau juga menyebutkan nama-nama perawinya
sekiranya hal itu terdapat perbedaan jalur periwayatan (thariqah).
Ia terkadang juga meriwayatkan hadits-hadits
dhaif tanpa memberi komentar dan kritikan. Begitu juga terhadap kisah-kisah
israiliyat, hampir tidak disertai nama perawinya dan tidak memberi pernjelasan
sekitar kelemahannya. Diantara kisah-kisah israiliyyat itu adalah kisah
Malaikat Harut dan Marut (QS: al-Baqarah/2: 102), terusirnya Adam dari surga
(QS al-Baqarah/2:36), dan kisah Jalut dan bala tentaranya (QS
al-Baqarah/2:250). Dan banyak kisah-kisah lain yang tidak sesuai dengan
pokok-pokok ajaran syari’at dan bertentangan dengan akal sehat.
Sementara itu, terkait dengan ayat-ayat
hukum, al-Laits hanya menyinggung sekedarnya saja, yang sekiranya dibutuhkan
dalam penafsiran. Al-Laits memberikan perhatian cukup besar terhadap bi
al-ma’tsur, baru kemudian beliau menjelaskannya dari sisi kebahasaan, ilmu qira’at,
makiyyah-madaniyya, nasikh-mansukh dan lain-lain.
Kesimpulan
Tafsir Bahr al-Ulum merupakan ssalah satu karya Abu al-Laits, karya
yang sangat kental dengan tinjauan riwayat. Sebuah pendekatan ini wajar
diterapkan oleh beliau, mengingat pada zaman itu masih kental dengan dunia
riwayat. Menariknya beliau banyak mengungkapkan riwayat tersebut tanpa adanya
perawi.
Selain
kental dengan riwayat, dalam tafsir ini ada pendekatan bahasa, atsar, dan
qiraat. Pendekatan-pendekatan inilah bisa menjadi bukti bahwa beliau memang
pintar dalam beberapa bidang, bukan hanya dalam dunia riwayat.
Salah satu ulama’ yang berkomentar
tentang tafsir ini adalah Al-Dzahabi, beliau berkata bahwa tafsir ini
kental dengan tafsir bi al-ma’tsur.
Daftar
pustaka
Al-Laits
Nashr bin Muhammad, Tafsir al-Samarqandi, pentahqiq. Zakariya abdul
majid dkk. (lebanon; dar al-kutub, 1993). Cet.1.
Husnul Hakim, ENSIKLOPEDI KITAB-KITAB TAFSIR, (Depok:
Lingkar Studi al-Qur’an, 2013). Cet. 1.
Tafsir al-Samarqandi, (online). (http://www.kumpulanmakalah.com/2016/09/studi-kritis-tafsir-bahr-al-ulum.html. diakses 02 november 2017).
[1]Husnul
Hakim, ENSIKLOPEDI KITAB-KITAB TAFSIR, (Depok: Lingkar Studi al-Qur’an, 2013).
Hal. 25.
[2] Al-Laits Nashr
bin Muhammad, Tafsir al-Samarqandi, pentahqiq. Zakariya abdul majid dkk.
(lebanon; dar al-kutub, 1993). Cet.1. hal. 7.
[3]Husnul Hakim, ENSIKLOPEDI
KITAB-KITAB TAFSIR, Hal. 25.
[4]
Al-Laits Nashr
bin Muhammad, Tafsir al-Samarqandi. Hal.10.
[5]
Tafsir al-Samarqandi, (online). (http://www.kumpulanmakalah.com/2016/09/studi-kritis-tafsir-bahr-al-ulum.html.
diakses 02 november 2017).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar